BREAKING

Sabtu, 20 September 2014

Doa rabithah izzatul islam untuk semua teman2 seperjuangan yang telah menghiasi kehidupanku



welcome.. :)

Rabu, 07 Mei 2014

Cinta Sepasang Insan Mulia, Ali dan Fatimah

Ali adalah anak dari paman Nabi Muhammad Rasulullah Saw, yaitu Abi Thalib. Sebut saja, Ali adalah sepupu Rasul. Abi Thalib sangat sayang kepada Rasul. Sepeninggal orang tua Rasul, Abi Thaliblah yang merawat Rasul bahkan selalu membela Rasul dalam memperjuangkan dakwah Islam walaupun pada ajalnya Abi Thalib wafat bukan sebagai muslim. Rasul sangat sedih mengenai hal itu.
Ali sejak kecil tinggal bersama Rasul, kalau tidak salah semenjak umur Ali tujuh tahun. Ali merupakan satu dari orang-orang yang pertama masuk Islam dan ia adalah yang paling muda di antara yang lain. Ia termasuk tokoh Islam atau sahabat Rasul yang sangat berpengaruh dan berjasa. Ali adalah pemuda yang gagah, tampan, kuat dan cerdas. Bahkan Rasul pernah berkata jikalau Rasul adalah sebuah gudang ilmu maka Alilah gerbang untuk memasuki gudang tersebut.
Setelah sepeninggal Rasul, Islam dipimpin oleh Khulafaur Rasyidin, Ali menjadi Khulafaur Rasyidin setelah Abu Bakar Ash-Shidiq, Umar bin Khaththab dan Utsman bin Affan.
Sedangkan Fatimah az-Zahra adalah putri kesayangan Rasul dari pernikahan beliau dengan Siti Khadijah binti Khuwailid. Khadijah adalah istri pertama Rasul. Seorang saudagar kaya yang cantik dan berakhlak mulia. Menurut berbagai riwayat, Khadijah adalah orang yang paling pertama masuk Islam. Khadijah sangat setia dan rela berkorban apapun demi Rasul dan Islam. Rasul pun sangat sayang kepada Khadijah. Selama Rasul menjadi suami Khadijah, Rasul tidak memadu Khadijah dengan perempuan lain. Ketika Khadijah meninggal, Rasul sangat sedih, begitu pula dengan Fatimah.
Fatimah adalah perempuan yang tegar, cantik, baik dan lembut. Sebagai anak yang berbakti pada ayahnya, Fatimahlah yang mengurus Rasul sejak Khadijah meninggal sampai Rasul menikah lagi.

Sampai suatu ketika, saat Rasul menjelang wafat, Fatimahlah orang yang sangat sedih jika Rasul meninggalkannya tapi Fatimah juga adalah yang paling bahagia karena kata Rasul setelah sepeninggal Rasul, Fatimahlah yang pertama kali akan menyusul Rasul ke surga.
Sejak Ali ikut tinggal bersama Rasul dan keluarganya, otomatis Ali tinggal bersama Fatimah. Mereka berdua tinggal dan melewati hari-hari bersama sejak kecil. Hingga menjelang remaja, tumbuhlah rasa cinta Ali kepada Fatimah. Hatinya dipenuhi keinginan untuk selalu berada di samping Fatimah. Tapi Ali tidak bodoh. Ia adalah pemuda yang beriman. Ali berusaha untuk selalu menjaga hatinya. Ia pendam rasa cinta itu bertahun-tahun. Ia simpan rasa itu jauh di dalam lubuk hatinya bahkan si Fatimah pun tidak pernah tahu bahwa Ali menyimpan lama rasa cinta yang luar biasa untuknya.
Hingga ketika Ali telah dewasa dan telah siap untuk menikah, maka Ali pun berniat menghadap Rasul dengan tujuan ingin melamar putri Rasul yang tak lain adalah Fatimah, seorang perempuan yang sudah lama Ali kagumi. Tapi sayang, niat Ali telah didahului oleh Abu Bakar yang sudah duluan melamar Fatimah. Ali pun harus ikhlas bahwa cintanya selama ini berakhir pupus. Apalagi Abu Bakar adalah sahabat setia Rasul yang sangat shalih dan begitu sayang kepada Rasul, dan rasul pun menyayanginya. Sedangkan Ali merasa dirinya hanyalah seorang  pemuda yang miskin. Sungguh jauh bila dibandingkan dengan seorang mulia seperti Abu Bakar, pikirnya.
Rencana Allah memang sulit ditebak oleh manusia, ternyata Rasul hanya diam ketika Abu Bakar melamar putri beliau. Maksudnya, Rasul menolak secara halus lamaran Abu Bakar. Ali pun senang. Karena masih merasa memiliki kesempatan melamar Fatimah. Maka Ali pun bergegas ingin segera melamar Fatimah sebelum didahului lagi.
Namun sungguh sayang sekali, lagi-lagi Ali didahului oleh Umar. Lagi-lagi, hati Ali tersayat. Ali sangat bersedih. Sama seperti dengan Abu Bakar, Ali merasa tak ada harapan lagi. Lagipula, apakah cukup dengan cinta ia akan melamar Fatimah? Karena ia hanyalah seorang pemuda biasa yang mengharapkan seorang putri Rasul yang luar biasa. Berbeda bila dibandingkan dengan Umar seorang keturunan bangsawan yang gagah dan berkharisma. Dan, Ali yakin Fatimah pasti akan bahagia bersama Umar.
Maka Ali pun hanya bisa bertawakal kepada Allah, semoga dikuatkan dengan derita cinta yang sedang dialaminya. Kali ini, Ali harus benar-benar ikhlas dan tegar menghadapi kenyataan itu. Namun Ali adalah pemuda yang shalih. Ia pun yakin bahwa Allah MahaAdil. Pasti Allah sudah mempersiapkan pendamping hidup baginya. Derita cinta memang menyakitkan. “Aku mengutamakan kebahagiaan Fatimah diatas cintaku,” bisik Ali dalam hati.
Disaat Ali merasakan derita cintanya,  tak disangka-sangka, datanglah Abu Bakar dengan senyum indahnya. Dan memberitahu Ali untuk segera bertemu dengan Rasul karena ada yang ingin beliau sampaikan. Pikir Ali, pasti ini tentang pernikahan Umar dengan Fatimah. Sepertinya Rasul meminta Ali untuk membantu persiapan pernikahan mereka. Maka Ali pun menyemangati dirinya sendiri agar kuat dan tegar. Walaupun sebenarnya, hatinya sangat perih teriris-iris. Apalagi harus membantu mempersiapkan dan menyaksikan pujaan hatinya menikah dengan orang lain.
Sungguh rencana Allah memang yang paling indah. Setelah Ali bertemu Rasul, tak disangka, lamaran Umar bernasib sama dengan lamaran Abu Bakar. Bahkan Rasul menginginkan Ali untuk menjadi suami Fatimah. Karena Rasul sudah lama tahu bahwa Ali telah lama memendam rasa cinta kepada putrinya. Ali pun sangat bahagia dan bersyukur. Ia pun langsung melamar Fatimah melalui Rasul. Tapi, Ali malu kepada Rasul karena ia tak memiliki sesuatu untuk dijadikan mahar. Apalagi ia selama ini dihidupi oleh Rasul sejak kecil.
Namun, sungguh mulia akhlak Rasul. Beliau tidak membebankan Ali. Rasul berkata bahwa nikahilah Fatimah walaupun hanya bermahar cincin besi. Akhirnya, Ali menyerahkan baju perangnya untuk melamar Fatimah. Rasul pun menerima lamaran itu. Fatimah pun mematuhi ayahnya serta siap menikah dengan Ali. Akhirnya Ali pun menikah dengan Fatimah, perempuan yang telah lama ia cintai.
Sekarang, Fatimah telah menjadi istri Ali. Mereka telah halal satu sama lain. Beberapa saat setelah menikah dan siap melewati awal kehidupan bersama, yaitu malam pertama yang indah hingga menjalani hari-hari selanjutnya bersama, Fatimah pun berkata kepada Ali, “Wahai suamiku Ali, aku telah halal bagimu. Aku pun sangat bersyukur kepada Allah karena ayahku memilihkan aku suami yang tampan, shalih, cerdas dan baik sepertimu.”
Ali pun menjawab, “Aku pun begitu, wahai Fatimahku sayang. Aku sangat bersyukur kepada Allah, akhirnya cintaku padamu yang telah lama kupendam telah menjadi halal dengan ikatan suci pernikahanku denganmu.”.
Fatimah pun berkata lagi dengan lembut, “Wahai suamiku, bolehkah aku berkata jujur padamu? Karena aku ingin terjalin komunikasi yang baik diantara kita dan kelanjutan rumah tangga kita.”
Kata Ali, “ Tentu saja istriku, silahkan. Aku akan mendengarkanmu.”
Fatimah pun berkata, “Wahai Ali suamiku, maafkan aku. Tahukah engkau bahwa sesungguhnya sebelum aku menikah denganmu, aku telah lama mengagumi dan memendam rasa cinta kepada seorang pemuda. Aku merasa pemuda itu pun memendam rasa cintanya untukku. Namun akhirnya, ayahku menikahkan aku denganmu. Sekarang aku adalah istrimu. Kau adalah imamku, maka aku pun ikhlas melayani, mendampingi, mematuhi dan menaatimu. Marilah kita berdua bersama-sama membangun keluarga yang diridhai Allah.”
Sungguh bahagianya Ali mendengar pernyataan Fatimah yang siap mengarungi bahtera kehidupan bersama. Suatu pernyataan yang sangat jujur dan tulus dari hati perempuan shalihah. Tapi, Ali juga terkejut dan sedih ketika mengetahui bahwa sebelum menikah dengannya, ternyata Fatimah telah memendam perasaan kepada seorang pemuda. Ali merasa bersalah karena sepertinya Fatimah menikah dengannya karena permintaan Rasul yang tak lain adalah ayahnya Fatimah. Ali kagum dengan Fatimah yang mau merelakan perasaannya demi taat dan berbakti kepada orang tuanya yaitu Rasul dan mau menjadi istri Ali dengan ikhlas.
Namun Ali memang pemuda yang sangat baik hati. Ia memang sangat bahagia sekali telah menjadi suami Fatimah. Tapi karena rasa cintanya karena Allah yang sangat tulus kepada Fatimah, hati Ali pun merasa tidak tega jika hati Fatimah terluka. Karena Ali sangat tahu bagaimana rasanya menderita karena cinta. Dan sekarang, Fatimah sedang merasakannya. Ali bingung ingin berkata apa, perasaan di dalam hatinya bercampur aduk. Di satu sisi ia sangat bahagia telah menikah dengan Fatimah, dan Fatimah pun telah ikhlas menjadi istrinya. Tapi di sisi lain, Ali tahu bahwa hati Fatimah sedang terluka. Ali pun terdiam sejenak. Ia tak menanggapi pernyataan Fatimah.
Fatimah pun lalu berkata, “Wahai Ali, suamiku sayang. Astagfirullah, maafkan aku. Aku tak ada maksud ingin menyakitimu. Demi Allah, aku hanya ingin jujur padamu.”
Ali masih saja terdiam. Bahkan Ali mengalihkan pandangannya dari wajah Fatimah yang cantik itu. Melihat sikap Ali, Fatimah pun berkata sambil merayu Ali, “Wahai suamiku Ali, tak usahlah kau pikirkan kata-kataku itu.”
Ali tetap saja terdiam dan tidak terlalu menghiraukan rayuan Fatimah, tiba-tiba Ali pun berkata, “Fatimah, kau tahu bahwa aku sangat mencintaimu. Kau pun tahu betapa aku berjuang memendam rasa cintaku demi untuk ikatan suci bersamamu. Kau pun juga tahu betapa bahagianya kau telah menjadi istriku. Tapi Fatimah, tahukah engkau saat ini aku juga sedih karena mengetahui hatimu sedang terluka. Sungguh, aku tak ingin orang yang kucintai tersakiti. Aku begitu merasa bersalah jika seandainya kau menikahiku bukan karena kau sungguh-sungguh cinta kepadaku. Walupun aku tahu lambat laun pasti kau akan sangat sungguh-sungguh mencintaiku. Tapi aku tak ingin melihatmu sakit sampai akhirnya kau mencintaiku.”
Fatimah pun tersenyum haru mendengar kata-kata Ali. Ali diam sesaat sambil merenung. Tak terasa, mata Ali pun mulai keluar airmata. Lalu dengan sangat tulus, Ali berkata, “Wahai Fatimah, aku sudah menikahimu tapi aku belum menyentuh sedikitpun dari dirimu. Kau masih suci. Aku rela agar kau bisa menikah dengan pemuda yang kau cintai itu. Aku akan ikhlas, lagipula pemuda itu juga mencintaimu. Jadi, aku tak akan khawatir ia akan menyakitimu. Karena ia pasti akan membahagiakanmu. Aku tak ingin cintaku padamu hanya bertepuk sebelah tangan. Sungguh aku sangat mencintaimu. Demi Allah, aku tak ingin kau terluka.”
Dan Fatimah juga meneteskan airmata sambil tersenyum menatap Ali. Fatimah sangat kagum dengan ketulusan cinta Ali kepadanya. Cinta yang dilandaskan keimanan yang begitu kuat. Ketika itu juga, Fatimah ingin berkata kepada Ali, tapi Ali memotong dan berkata, “Tapi Fatimah, bolehkah aku tahu siapa pemuda yang kau pendam rasa cintanya itu? Aku berjanji tak akan meminta apapun lagi darimu. Namun ijinkanlah aku mengetahui nama pemuda itu.”
Airmata Fatimah mengalir semakin deras. Fatimah tak kuat lagi membendung rasa bahagianya dan Fatimah langsung memeluk Ali dengan erat. Lalu Fatimah pun berkata dengan tersedu-sedu, “Wahai Ali, demi Allah aku sangat mencintaimu. Sungguh aku sangat mencintaimu karena Allah.” Berkali-kali Fatimah mengulang kata-katanya.
Setelah emosinya bisa terkontrol, Fatimah pun berkata kepada Ali, “Wahai Ali, awalnya aku ingin tertawa dan menahan tawa sejak melihat sikapmu setelah aku mengatakan bahwa sebenarnya aku memendam rasa cinta kepada seorang pemuda sebelum menikah denganmu. Aku hanya ingin menggodamu. Sudah lama aku ingin bisa bercanda mesra bersamamu. Tapi kau malah membuatku menangis bahagia. Apakah kau tahu sebenarnya pemuda itu sudah menikah.”
Ali menjadi bingung, Ali pun berkata dengan selembut mungkin, walaupun ia kesal dengan ulah Fatimah kepadanya, ”Apa maksudmu wahai Fatimah? Kau bilang padaku bahwa kau memendam rasa cinta kepada seorang pemuda, tapi kau malah kau bilang sangat mencintaiku, dan kau juga bilang ingin tertawa melihat sikapku, apakah kau ingin mempermainkan aku Fatimah? Tolong sebut siapa nama pemuda itu? Mengapa kau mengharapkannya walaupun dia sudah menikah?”
Fatimah lalu memeluk mesra lagi, lalu menjawab pertanyaan Ali dengan manja, “Ali sayang, kau benar seperti yang kukatakan bahwa aku memang telah memendam rasa cintaku itu. Aku memendamnya bertahun-tahun. Sudah sejak lama aku ingin mengungkapkannya. Tapi aku terlalu takut. Aku tak ingin menodai anugerah cinta yang Allah berikan ini. Aku pun tahu bagaimana beratnya memendam rasa cinta apalagi dahulu aku sering bertemu dengannya. Hatiku bergetar bila kubertemu dengannya. Kau juga benar wahai Ali cintaku. Ia memang sudah menikah. Tapi tahukah engkau wahai sayangku? Pada malam pertama pernikahannya ia malah dibuat menangis dan kesal oleh perempuan yang baru dinikahinya.”
Ali pun masih agak bingung, tapi Fatimah segera melanjutkan kata-katanya dengan nada yang semakin menggoda Ali, ”Kau ingin tahu siapa pemuda itu? Baiklah akan kuberi tahu. Sekarang ia berada disisiku. Aku sedang memeluk mesra pemuda itu. Tapi dia hanya diam saja. Padahal aku memeluknya sangat erat dan berkata-kata manja padanya. Aku sangat mencintainya dan aku pun sangat bahagia ternyata memang dugaanku benar. Ia juga sangat mencintaiku.”
Ali berkata kepada Fatimah, “Jadi maksudmu?”
Fatimah pun berkata, “Ya wahai cintaku, kau benar, pemuda itu bernama Ali bin Abi Thalib sang pujaan hatiku.”
Berubahlah mimik wajah Ali menjadi sangat bahagia dan membalas pelukan Fatimah dengan dekapan yang lebih mesra. Mereka masih agak malu-malu. Saling bertatapan lalu tersenyum dan tertawa cekikikan karena tak habis pikir dengan ulah masing-masing. Mereka bercerita tentang kenangan-kenangan masa lalu dan berbagai hal. Malam itu pun mereka habiskan bersama dengan indah dalam dekapan Mahabbah-Nya yang suci. Subhanallah.
Ali dan Fatimah pun menjalani rumah tangga mereka dengan suka maupun duka. Buah cinta dari pernikahan Ali dan Fatimah adalah putra tampan bernama Hasan dan Husain. Mereka berdua adalah anak yang sangat disayangi orangtuanya dan disayangi Rasul, kakek mereka. Juga disayangi keluarga Rasul yang lain tentunya. Mereka berdua nantinya juga menjadi tokoh dan pejuang Islam yang luar biasa.
Selama berumah tangga, Ali sangat setia dengan Fatimah, ia tak memadu Fatimah. Cintanya Ali memang untuk Fatimah, begitupun cinta Fatimah memang untuk Ali, mereka juga bersama-sama hidup mulia memperjuangkan Islam. Hingga hari itu pun tiba, semua yang hidup pasti akan kembali ke sisi-Nya. Ali, Hasan dan Husin dilanda kesedihan. Fatimah terlebih dahulu wafat, meninggalkan suami, anak-anak dan orang-orang yang mencintai dan dicintainya.
Itulah kisah cinta Ali bin Abi Thalib dan Fatimah Az-Zahra binti Muhammad. Subhanallah. Allah memang Mahaadil. Rencana dan skenario-Nya sangat indah. Ada beberapa hikmah dari kisah cinta mereka. Ketika Ali merasa belum siap untuk melangkah lebih jauh dengan Fatimah, maka Ali mencintai Fatimah dengan diam.  Karena diam adalah satu bukti cinta pada seseorang. Diam memuliakan kesucian diri dan hati sendiri dan orang yang dicintai. Sebab jika suatu cinta diungkapkan namun belum siap untuk mengikatnya dengan ikatan yang suci, bisa saja dalam interaksinya akan tergoda lalu terjerumus kedalam maksiat. Naudzubillah. Biarlah cinta dalam diam menjadi hal indah yang bersemayam di sudut hati dan menjadi rahasia antara hati sendiri dan Allah Sang Maha Penguasa Hati. Yakinlah Allah Mahatahu para hamba yang menjaga hatinya. Allah juga telah mempersiapkan imbalan bagi para penjaga hati. Imbalan itu tak lain adalah hati yang terjaga.
Semoga kisah ini bermanfaat bagi para insan yang merindukan cinta suci karena-Nya, yang sedang berikhtiar sekuat hatinya, dan yang saat ini menanti dengan sabar demi menyambut jalan cinta yang diridhai-Nya. Mohon maaf apabila ada esensi kisah yang kurang pas dengan aslinya. Mohon diluruskan jika ada redaksi kisah yang salah dari saya. Sesungguhnya kebenaran berasal dari Allah dan segala khilaf maupun salah berasal dari manusia seperti saya. Wallahu’alam bishshawwab.

Senin, 24 Februari 2014

Monolog dengan Semua Romansanya


Pikiranku meneobos jauh kesana, ya.. ketempat itu.. aku sangat merindukan tempat saat aku melihat banyak cahaya kecil dibalik hitamnya kabut senja.. aku sangat merindukan kunang-kunang peradaban yang dihadirkan sang Khalik ketika menata keindahan malamNya.. Meskipun aku sangat menikmati pelayaranku menuju samudra impianku, namun perjalananku tampak runyam tanpa kalian.. ya, kalian..

Entah apa yang membuat pikiran ini selalu bergejolak ketika memikirkan kalian malaikat kecilku, diri ini selalu bermonolog dg semua romansanya..

Sebelum tanganku berubah menjadi angin
menyapu seluruh senja, merenungi keusaian dari titik kabut,
tinggalkan lembah sajak pada kata-kata
hingga tandas seluruh makna tertelan arwah bulan.

Sebelum tanganku menjelma angin,
bangun bayang-bayang di matamu
seperti kastil yang roboh seribu tahun lalu di otakku,
menggulung mimpi-mimpi tanpa malam,
menepis cahaya berlumur abjad dan lafal doa,
saat tubuhku menjadi lebih ringan dari embun.

Kutukan malam mengantarku pada sunyi.
Gemeretak tulang-tulang bukit terdengar nyaring
menyerupai lolongan bidadari saat terbang bersama pelangi.
Kudirikan istana pasir di pantai selatan
untuk tidurmu bersama ombak.
Meski sedikit gemetar terdesak karang laut,
tapi kilaunya terus mengalir menuju pelir.

Sebelum tanganku berubah jadi angin,
angkatlah tinggi-tinggi gaunmu,
biarkan benangnya kusut seperti rambut malaikat di surga.
Suatu saat pantaiku akan menjemput keusaian
seperti istana pasir yang pernah kubangun
dan menggemakan lonceng di ujung menaranya
ketika istana kecilku
mulai tak berpenghuni,
Hanya debu yang terhempas
bersama sisa-sisa sang malam..

-SN-

Minggu, 16 Februari 2014

Al Furqon Aura Kehidupan


 -30 Juli 2012- 
Surgaku adalah lembah penuh bukit
Berkelok seperti pikiranku yang terjal ditelan bulan
Lentera kecil tak mampu membawaku kesana,
Sampai aku lelah menghitung jejak tanah penuh tapak
Sang Khalik memanggil penuh arti,
Seakan menorehkan senyum kerang di ujung samudera,
Terentang ganggang pantai menuju muara
Menarikan pujian tanpa suara
Dzikir ombak bergelegak di dasar bayanganku
Tahajjud jalan kuyup bersikelok membawaku dalam naungan sang bidadari
Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah dan kitab yang menerangkan. Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap-gulita kepada cahaya yang terang-benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus. (Al-Ma’idah : 15-16)
Bulan Ramadhan adalah (bulan) yang didalamnya diturunkan Al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang benar dan yang bathil).... (Al-Baqarah: 185)
Al-Quran merupakan kitab yang syamil dan mutakkamil. Al-Quran sebagai penyejuk hati, yang menggugah hati, namun eksistensinya banyak dari setiap insan yang kurang menyadari esensi dari kalam Allah. Bukan karena manusia yang minim akan perkataan indah Allah namun karena kebutuhan akan pembelajaran hati untuk menyentuhnya terkendali oleh diri dan jiwa insan. Tak dipungkuri juga banyak insan setiap hari membaca Al-Quran namun tak memahami arti dan mengaplikasikan isi dari Al-Quran. Padahal banyak sekali keutamaan dari Al-Quran. Sehingga sampai detik waktu, sang muslim akan dipenuhi berbagai tanda tanya mengapa ia berada dalam suatu kehidupan.
Nampaknya perlu diistimewakan kalimat “Makanan terbaik bagi hati adalah keimanan, obat terbaiknya adalah Al-Qur’an”. Pemahaman ini akan merujuk pada nikmatnya menggali ilmu al-Qur’an. Al-Furqon merupakan obat hati yang paling manjur ketika sang insan mendapati sebuah cobaan kegelisahan, kebimbangan, keresahan maupun penurunan kualitas keimanan lain. Sungguh, Al-Quran merupakan penyempurna kekuatan hati. Bila kekuatan Al-Quran tak mampu menggoyahkan hati kita, maka bisa jadi jiwa dan nurani kita kurang menghayati keimanan kita. Alunan Al-Furqon yang menyejukkan, menenangkan, dan menggelorakan. Itulah mungkin suatu penjabaran dari definisi sebuah kehidupan. Hidup adalah simfoni yang kita mainkan dengan indah. Al-Quran merupakan nafas jiwa dan ruh yang menggelora dalam hati. Ia merupakan jendela cinta dan sarana komunikasi kita pada Sang Khalik. Perlu sebuah keserasian dan harmoni untuk menyatukan kehidupan dengan cinta-Nya. Sehingga rangkaian batin, nurani, dan jiwa serempak menghasilkan ketergantungan produktif pada kalam Allah bak daun yang menggantungkan dirinya pada sang air dan sang matahari untuk berfotosintesis.
Al- Furqon membingkai romantika perjuangan dalam setiap aktivitas nadi dan jiwa kita. Tanpanya seluruh nilai pikiran dan perasaan akan hilang dilanda sebuah kerinduan akan alunan panjinya. Cahayanya memvisualisasi sebuah kekuatan kesatuan, keagungan, keluhuran dan ketinggian yang melahirkan taman kehidupan yang indah. Gelora magnetiknya selalu mengingatkan kita akan pesona keindahan rangkaian kalimatnya. Jiwa akan tergerak untuk menikmati kaidah keagungannya. Bukan hanya sebuah icon, namun merupakan penggugah jiwa prajurit yang dibariskan hingga saling melembut dan menyatu. Al-Quran adalah sebuah kebutuhan eksistensial yang sangat mengagumkan dan mengikat insan manusia.
Al-Quran merupakan aura kehidupan, dimana setiap insan yang membaca akan merasakan hamparan keindahan al-quran, merasakan denyut nadi kehidupan, merasakan alasan merakit pemaknaan tiada batas terhadap kehidupan. Ia membuat insan yang mendendangkan merasa hidup. Sebab ia menebar benih kehidupan di ladang hati kita. Aura kehidupan. Tepat, aura kehidupan. Kehidupan itu nyata pada setiap hembusan nafas kita, pada setiap detak jantung kita, pada setiap jengkal tubuh kita, pada setiap langkah kaki kita, pada setiap uluran tangan kita, pada setiap kedip mata kita, pada setiap kata dan suara kita. Benar, aura kehidupan. Sebab ia mengomplekskan tiga pesona utama para perindu surga: pesona raga, pesona jiwa, dan pesona ruh.

Ketiga pesona tersebut terbingkai rapih pada sebuah “akal besar“ yang menerangi kehidupan rabbaniyah. Maka mendekatlah pada-Nya, niscaya engkau kan merasakan betapa air kehidupan serasa mengalir pada setiap sudut jiwa dan ragamu. Pahamilah kata – kata-Nya, maka engkau kan merasakan betapa engkau layak dan pantas mendapat kehidupan yang berkualitas, kehidupan yang lebih baik. Dan jika Allah mengizinkan jiwa kita merasakan sentuhan keindahan-Nya, niscaya kita kan merasakan betapa air kehidupan mendidih dalam tubuh kita. Dan jika Allah memperkenankan kita hidup lama, niscaya kita kan merasakan betapa perlindungan-Nya membuat kita terengkuh dalam rasa damai, aman, dan nyaman. Namun masihkah kita diberi kesempatan oleh-Nya untuk berdiri kokoh di dunia lebih lama? Masihkah kita menunggu dan mengharapkan kesempatan kedua dari-Nya?

Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah dan mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi.(Faathir:29)
Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi, dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan (Al-Qasash : 77). ALLAHU AKBAR !!! - SN-
 

Dari Gerakan ke Negara

 Tugas DM2 (Dauroh Marhalah 2)
30 Agustus 2012
Hijrah dalam sejarah dakwah Rasulullah SAW adalah sebuah metamorfosis dari “gerakan” menjadi negara. Rasulullah melakukan penetrasi sosial yang sangat sistematis, dimana Islam menjadi jalan hidup individu, dimana Islam “memanusia” dan kemudian “memasyarakat”. Sekarang melalui hijrah, masyarakat bergerak linear menuju negara. Melalui hijrah, gerakan itu “menegara”.
            Perubahan sosial mempunyai landasan pada sifat natural  manusia, baik sebagai individu maupun masyarakat. Model perubahan selalu gradual dan bertahap, prosesnya cenderung evolusioner tapi dampaknya lebih cenderung bersifat revolusioner. Inilah makna firman Allah SWT. “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sampai mereka mengubah diri mereka sendiri.” (Ar-Ra’d:11).
            Dalam konsep politik islam, syariat yang disebut sistem atau hukum merupakan suatu given. Negara merupakan institusi yang diperlukan untuk menerapkan sistem. Sehingga dalam penjelasan ini akan menerangkan perbedaan mendasar dengan negara sekuler, dimana sistem/ hukum mereka adalah hasil dari produk kesepakatan bersama karena hal tersebut sebelumnya dianggap tidak ada.
            Negara merupakan sebuah peradaban, dimana institusi negara dalam konsep islam ialah sarana untuk menegakkan sebuah peradaban. Negara bukanlah sebuah akhir, justru merupakan awal dari sebuah peradaban. Manusia adalah subyek, negara adalah institusi, dan peradaban adalah karyanya. Nasionalisme yang menjadi ruh dari konsep negara-bangsa mulai memudar dan nasionalisme religius muncul sebagai alternatif baru di negara-negara islam. Permasalahan negara bukan merujuk pada bentuk, tapi pada konsep kekuasaan, dan misi yang akan diemban yang bisa merujuk pada ideologi atau kepentingan.
            Manusia untuk sebuah cita-cita, manusia muslim harus direkonstruksi ulang dalam tiga tahapan dimana yang pertama memperbaharui afiliasinya kepada islam kembali, memperbaharui keislaman dengan memperbaiki pemahamannya pada islam, dan partisipasi paling optimal dalam memberikan kontribusi kepada islam.
            Proyek sekularisasi gagal di dunia islam, dapat dijelaskan dalam dua perspektif yaitu akidah dan rasio. Secara akidah, kegagalan hanyalah pembuktian empiris dari janji Allah SWT. Penjelasan rasionalnya yaitu kekuatan sekuler tidak bersumber dari dunia islam tapi dari Barat atau dari Timur, rezim-rezim diktator telah menciptakan penderitaan rakyat yang panjang, kegagalan membangun telah menghilangkan kepercayaan masyarakat terhadap janji-janji modernisasi, gerakan tidak pernah sanggup membawa konsep-konsep pemikiran yang original, komprehensif, berlandaskan metodologi yang kokoh, dan output empiris yang sukses. Itulah, disamping karena secara substansial memang kosong, secara struktural gerakan ini sangat rapuh.
            Pemimpin sesuai era dakwahnya, nampaknya memang ada kesulitan bagi sebagian besar pemimpin Islam saat mempersepsi perjalanan dua entitas secara berbeda yaitu entitas negara dan gerakan islam. Dalam periode dakwah saat ini, dibutuhkan seorang pemimpin yang kuat dan memiliki kemampuan kepemimpinan yang mumpuni untuk menyelesaikan persoalan bangsa. Selain itu, pemimpin juga tentu seorang demokrat yang memberi ruang gerak yang luas dan nyaman bagi umat islam yang tumbuh dan berkembang sekaligus memiliki empati terhadap harakah dan memberikan ruang partisipasi yang besar dalam proses pengelolaan negara. Harakah harus memainkan peran sebagai pelopor koalisi besar kekuatan Islam dan reformis, sekaligus sebagai match-maker (penyelaras) dalam koalisi.
            Hasan Al-Banna, memang tidak sempat menyelesaikan seluruh agenda kebangkitannya. Namun ia telah memulainya dengan benar sesuai tahapannya. Sebagian organisasi islam mati bersama matinya pemimpinnya. Tapi tidak bagi ikhwan. Walaupun Al-Banna merupakan legenda, sebuah organisasi harus tetap dikelola dengan sistem. Ia telah merancang sistem hingga sistem ini bekerja bahkan setelah ia syahid.
            Penjelasan Dari Gerakan ke Negara merupakan penjelasan yang sangat komprehensif, dimana menjelaskan dari tahapan penegakan negara oleh rasulullah, hingga kebangkitan dakwah rasulullah zaman Hasan Al-Banna dan masa reformasi indonesia serta wacana-wacana politik barat dan manajemen transisi dalam menata ulang taman Indonesia. Dari Gerakan ke Negara dalam penyampaiannya terlalu fluktuatif sehingga kata-kata agak sulit dipahami. Manusia adalah subjek, negara adalah institusi, dan peradaban adalah karyanya. Manusia, peradaban, dan model negara seperti apakah yang mampu mewujudkan cita-cita mulia bagi rahmatan lil ‘alamin? Anda sedang mempersiapkan diri menjadi model manusia sebagai subjek bagi terlahirnya sebuah negara dan peradaban yang penuh kesejahteraan, kemakmuran, dan keadilan. Kader dakwah yang mempersiapkan diri membangun negara dari sebuah gerakan. –SN-