BREAKING

Selasa, 16 April 2013

Penyakit Miastenia Gravis pada Manusia


KONSEP PENYAKIT
MIASTENIA GRAVIS 


2.1 Pengertian

Miastenia gravis adalah suatu kelainan autoimun yang ditandai oleh suatu kelemahan abnormal dan progresif  pada otot rangka yang dipergunakan secara terus-menerus dan disertai dengan kelelahan saat beraktivitas. Penyakit ini timbul karena adanya gangguan dari synaptictransmission atau pada neuromuscular junction. Gangguan tersebut akan mempengaruhi transmisi neuromuscular pada otot tubuh yang kerjanya di bawah kesadaran seseorang (volunter). Karakteristik yang muncul berupa kelemahan yang berlebihan, dan umumnya terjadi kelelahan pada otot-otot volunter dan hal itu dipengaruhi oleh fungsi saraf cranial (Dewabenny, 2008).
Miastenia gravis merupakan sindroma klinis akibat kegagalan transmisi neuromuskuler yang disebabkan oleh hambatan dan destruksi reseptor asetilkolin oleh autoantibodi. Sehingga dalam hal ini, miastenia gravis merupakan penyakit autoimun yang spesifik organ. Antibodi reseptor asetilkolin terdapat didalam serum pada hampir semua pasien. Antibodi ini merupakan antibodi IgG dan dapat melewati plasenta pada kehamilan (Chandrasoma dan Taylor, 2005).
Miastenia gravis merupakan gangguan yang mempengaruhi transmisi neuromuskuler pada otot tubuh yang kerjanya dibawah kesadaran seseorang (volunteer) . Karakteristik yang muncul berupa kelemahan yang berlebihan dan umumnya terjadi kelelahan pada otot-otot volunter dan hal itu dipengaruhi oleh fungsi saraf cranial (Brunner and Suddarth 2002).
Miastenia gravis adalah suatu kelainan autoimun saaf perifer berupa terbentuknya antibody terhadap reseptor pascasinaptik asetilkolin (ACH) nikotinik pada myoneural junction. Penurunan jumlah reseptor ACH ini menyebabkan penurunan kekuatan otot yang progesif dan terjadi pemulihan setelah istirahat (Dewanto dkk,2009:62). Berikut gambar miastenia gravis:



Gambar 1. Miastenia Gravis

2.2 Etiologi

Kelainan primer pada miastenia gravis dihubungkan dengan gangguan transmisi pada  neuromuscular junction, yaitu penghubung antara unsur saraf dan unsur otot. Pada ujung akson motor neuron terdapat partikel-partikel globuler yang merupakan penimbunan asetilkolin (ACh). Jikarangsangan motorik tiba pada ujung akson, partikel globuler pecah dan AChdibebaskan yang dapat memindahkan gaya saraf yang kemudian bereaksi dengan ACh. Reseptor (AChR) pada membran postsinaptik. Reaksi inimembuka saluran ion pada membran serat otot dan menyebabkan masuknyakation, terutama Na, sehingga dengan demikian terjadilah kontraksi otot.
Penyebab pasti gangguan transmisi neromuskuler pada Miastenia gravis tidak diketahui. Dulu dikatakan, pada Miastenia gravis terdapat kekurangan ACh atau kelebihan kolinesterase, tetapi menurut teori terakhir, factor imunologiklah yang berperanan (Qittun, 2008).

2.3 Epidemologi

Miastenia gravis merupakan penyakit yang jarang ditemui, dan dapat terjadi pada berbagai usia. Biasanya penyakit ini lebih sering tampak pada usia 20-50 tahun. Wanita lebih sering menderita penyakit ini dibandingkan pria. Rasio perbandingan wanita dan pria yang menderita miastenia gravis adalah 3 : 1. Pada wanita, penyakit ini tampak pada usia yang lebih muda, yaitu sekitar 20 tahun, sedangkan pada pria, penyakit ini sering terjadi pada usia 40 tahun. Pada bayi, sekitar 20% bayi yang dilahirkan oleh ibu penderita Miastenia gravis akan memiliki miastenia tidak menetap/transient (kadang permanen) (Dewabenny, 2008).

2.4 Patogenesis / Patofisiologi

Sebelum tahun 1973, kelainan transmisi neuromuskuler pada Miastenia gravis dianggap karena kekurangan ACh. Dengan ditemukan antibodi terhadap AChR (anti-AChR), baru diketahui, gangguan tersebut adalah suatu proses imunologik yang menyebabkan jumlah AChR pada membran post-sinaptik berkurang. Anti-AChR ditemukan pada 80 - 90% penderita. Adanya proses imunologik pada Miastenia gravis sudah diduga oleh Simpson dan Nastuk pada tahun 1960. Selain itu, dalam serum penderita miastenia gravis juga dijumpai antibodi terhadap jaringan otot serat lintang 30 - 40% dan antibodi antinuklear 25%. Kadar anti-AChR pada miastenia gravis bervariasi antara 2-1000 nMol/L, dan kadar ini berbeda secara individu. Anti-AChR ini akan mempercepat penghancuran AChR, tetapi tidak menghambat pembentukan AChR baru. Sebagai akibat proses imunologik, membran post-sinaptik mengalami perubahan sehingga jarak antara ujung saraf dan membran post sinaptik bertambah lebar dengan demikian kolinesterase mendapat kesempatan lebih banyak untuk menghancurkan Ach . Gejala klinik miastenia gravis akan timbul bila 75% AChR tidak berfungsi, ataujumlahnya berkurang 1/3 dari normal (Endang Thamrin dan P. Nara, 1986).

Dasar Ketidak normalan pada miastenia gravis adalah adanya kerusakan pada transmisi impuls syaraf menuju sel otot karena kehilangan kemampuan atau hilangnya reseptor normal membran postsinaps pada sambungan neuromuskular. Pada orang normal , jumlah asetilkolin yang dilepaskan sudah lebih dari cukup untuk menghasilkan potensial aksi.


Gambar 2. Mekanisme Mistenia Gravis
Pada miastenia gravis , konduksi neuromuskular terganggu, Jumlah asetilkolin berkurang, mungkin akibat cedera autoimun. Antibodi terhadap protein neuroreseptor asetilkolin ditemukan alam penderita miastenia gravis. Miastenia gravis secara makroskopis otot-ototnya tampak normal. Jika ada atropi, akibat otot yang tidak dipakai. Secara mikroskopis pada beberapa kasus dapat ditemukan infiltrasi limfosit dalam otot dan organ organ lain, tetapi pada otot  rangka tidak dapat ditemukan kelainan yang konsisten (price and wilson,1995 dalam Muttaqin,2000;229).


2.5 Manifestasi Klinis (Tanda Dan Gejala)

Miastenia gravis adalah penyakit yang terjadi karena kelainan otot. Maka gejala-gejala yang timbul juga dapat kita lihat dari terjadinya beberapa otot-otot yang melemah. Otot-otot yang paling sering diserang adalah otot yang mengontrol gerak mata, kelopak mata, bicara, menelan, mengunyah, dan yang lebih parah adalah menyerang otot pernafasan.
Pada 90% penderita Miastenia gravis, gejala awal yang tampak adalah pada otot ocular yang menyebabkan turunnya kelopak mata dan penglihatan ganda. Jelas terlihat secara fisik. Tentunya gajala selanjutnya akan tampak dan menjalar menyerang otot lain. Sampai yang lebih parah menyerang otot pernafasan yang biasanya terlihat dari melemahnya batuk. Bahkan ada yang menjadi sesak nafas dan bisa fatal akibatnya.
Miastenia gravis juga menyerang otot-otot, wajah, dan laring. Keadaan ini dapat menyebabkan regurgitasi melalui hidung jika pasien mencoba menelan (otot-otot palatum), menimbulkan suara yang abnormal atau suara nasal, dan pasien tak mampu menutup mulut yang dinamakan sebagai tanda rahang menggantung. Pada sistem pernapasan, terserangnya otot-otot pernapasan terlihat dari adanya batuk yang lemah, dan akhirnya dapat berupa serangan dispnea dan pasien tidak lagi mampu membersihkan lendir dari trakea dan cabang-cabangnya.
Pada kasus yang lebih lanjut, gelang bahu dan panggul dapat terserang hingga terjadi kelemahan pada semua otot-otot rangka. Biasanya gejala miastenia gravis dapat diredakan dengan beristirahat dan dengan memberikan obat antikolinesterase. Namun gejala-gejala tersebut dapat disebabkan (SilviaA. Price, Lorain M. Wilson. 1995.);
1. Perubahan keseimbangan hormonal, misalnya selama kehamilan, fluktuasi selama siklus haid atau gangguan fungsi tiroid,
2. Adanya penyakit penyerta terutama infeksi saluran pernapasan bagian atas, dan infeksi yang disertai diare dan demam,
3. Gangguan emosi atau stres. Kebanyakan pasien mengalami kelemahan otot apabila mereka berada dalam keadaan tegang,
4. Alkohol, terutama bila dicampur dengan air soda yang mengandung kuinin (suatu obat yang mempermudah terjadinya kelemahan otot) dan obat-obat lainnya.
Pada pemeriksaan neurologik tidak ditemukan kelainan. Gejala kelemahan otot dapat diprovokasi oleh aktivitas, stres, nervositas, demam dan obat-obat tertentu seperti B-blocker, derivat kinine, aminoglikosida dan lain-lain. Dulu diduga Miastenia gravis tidak timbul sebelum pubertas, akan tetapi dengan uji prostigmin dapat dibuktikan pada anak umur 18 bulan – 10 tahun. Millichap dan Dodge membagi Miastenia gravis pada anak dalam 3 tipe (Endang Thamrin dan P. Nara, 1986) :
1. Neonatal transient Miastenia gravis
Tipe ini terdapat pada 10-20% bayi baru lahir dari ibu-ibu yang menderita Miastenia gravis. Beratnya gejala tidak berkaitan dengan beratnya penyakit pada ibu . Segera atau beberapa jam setelah lahir, bayi menjadi lemah, nabgis dan gerakan berkurang, tidak dapat mengisap, sukar menelan, pernapasan melemah. Gejala ini berlangsung tidak lebih dari 1 Bulan dan bayi berangsur-angsur kembali normal karena masuknya anti-AChR dari ibu secara transplasenter ke dalam tubuh bayi.
2. Neonatal persistent Miastenia gravis (congenital Miastenia gravis)
Gejala timbul pada waktu lahir, tetapi ibunya tidak sakit Miastenia gravis. Gejala hampir sama dengan tipe neonataltransient Miastenia gravis, bersifat ringan, berlangsung lama, makin lama makin buruk . Relatif resisten terhadap pengobatan dan remisi komplit jarang.
3. Juvenile Miastenia gravis
Tipe ini timbul pada umur 2 tahun sampai remaja. Keluhan dan gejala sama seperti pada orang dewasa dan gejala pertama biasanya diplopia dan ptosis atau gejala THT seperti gangguan mengunyah, menelan atau suara sengau.
Gejala-gejala miastenia gravis pada pasein usia produktif antara lain
§  Kelopak mata turun sebelah atau layu (asimetrik ptosis)
§  Penglihatan ganda
    • Kelemahan otot pada jari-jari, tangan dan kaki (seperti gejala stroke tapi tidak disertai gejala stroke lainnya)
§  Gangguan menelan
§  Gangguan bicara
    • Dan gejala berat berupa melemahnya otot pernapasan (respiratory paralysis), yang biasanya menyerang bayi yang baru lahir
Gejala-gejala ringan biasanya akan membaik setelah beristirahat, tetapi bisa muncul kembali bila otot kembali beraktifitas. Penyakit miastenia gravis ini bisa disembuhkan tergantung kerusakan sistem saraf yang dialami.
a)    Bisa terjadi kesulitan dalam berbicara dan menelan serta kelemahan pada lengan dan tungkai.
b)   Kesulitan dalam menelan seringkali menyebabkan penderita tersedak.
c)    Yang khas adalah otot menjadi semakin lemah. Penderita mengalami kesulitan dalam menaiki tangga, mengangkat benda dan bisa terjadi kelumpuhan.
d)   Sekitar 10% penderita mengalami kelemahan otot yang diperlukan untuk pernafasan (krisis miastenik).
2.6 Klasifikasi Miastenia Grafis
Klasifikasi Myasthenia Gravis berdasarkan The Medical Scientific Advisory Board (MSAB) of the Myasthenia Gravis Foundation of America (MGFA) :
·         Class I Kelemahan otot okular dan Gangguan menutup mata, Otot lain masih normal
·         Class II Kelemahan ringan pada otot selain okular, Otot okular meningkat kelemahannya
·         Class IIa Mempengaruhi ekstrimitas, Sedikit mempengaruhi otot-otot oropharyngeal
·         Class IIb Mempengaruhi otot-otot oropharyngeal dan pernapasan, Juga mempengaruhi ekstrimitas
·         Class III Kelemahan sedang pada otot selain okuler, Meningkatnya kelemahan pada otot okuler
·         Class IIIa Mempengaruhi ektrimitas , Sedikit mempengaruhi otot-otot oropharyngeal
·         Class IIIb Mempengaruhi otot-otot oropharyngeal dan pernapasan, Juga mempengaruhi ekstrimitas
·         Class IV Kelemahan berat pada selain otot okuler, Kelemahan berat pada otot okuler
·         Class IVa Mempengaruhi ekstrimitas, Sedikit pengaruh pada otot-otot oropharyngeal
·         Class IVb Terutama mempengaruhi otot-otot pernapasan dan oropharyngeal, Juga mempengruhi otot-otot ekstrimitas
·         Class V Pasien yang membutuhkan intubasi (kecuali pada kasus post-operative)

2.7 Penyebab Miastenia Gravis

     Penyebab pasti reaksi autoimun atau sel antibodi yang menyerang reseptor acetylcholine belum diketahui. Tapi pada sebagian besar pasien, kerusakan kelenjar thymus menjadi penyebabnya. Maka itu kebanyakan si penderita akan menjalani operasi thymus. Tapi setelah thymus diangkat juga belum ada jaminan penyakit autoimun ini akan sembuh.
Thymus adalah organ khusus dalam sistem kekebalan yang memproduksi antibodi. Organ ini terus tumbuh pada saat kelahiran hingga pubertas, dan akan menghilang seiring bertambahnya usia. Tapi pada orang-orang tertentu, kelenjar thymus terus tumbuh dan membesar, bahkan bisa menjadi ganas dan menyebabkan tumor pada kelenjar thymus (thymoma). Pada kelenjar thymus, sel tertentu pada sistem kekebalan belajar membedakan antara tubuh dan zat asing. Kelenjar thymus juga berisi sel otot (myocytes) dengan reseptor acetylcholine.
2.8 Patofisiologi Gambaran Penyakit Secara Menyeluruh

Saraf besar bermielin yang berasal dari sel kornu anterior medula spinalis dan batang otak mempersarafi otot rangka atau otot lurik. Saraf – saraf ini mengirimkan aksonnya dalam bentuk saraf-saraf spinal dan cranial menuju ke perifer. Masing-masing saraf bercabang banyak sekali dan mampu merangsang sekitar 2000 serabut otot rangka. Gabungan antara saraf motorik dan serabut-serabut otot saraf dinamakan unit motorik. Meskipun setiap neuron motorik mempersarafi banyak serabut otot, tetapi setiap serabut otot saraf oleh satu neuron motorik.
Daerah khusus yang merupakan tempat pertemuan antara saraf motorik dan serabut otot disebut sinaps neuromuskular atau hubungan neuromuscular. Hubungan neuromuskular merupakan suatu sinaps kimia antara saraf dan otot yang terdiri dari tiga komponen dasar: unsur presinaps, elemen postsinaps, dan celah sinaps yang mempunyai lebar sekitar 200Ã…. Unsur presinaps terdiri dari akson terminal dengan vesikel sinaps yang berisi asetilkolin yang merupakan neurotransmitter. Asetilkolin disintesis dan disimpan dalam akson terminal (bouton). Membran plasma akson terminal disebut membran postsinaps. Unsur postsinaps terdiri dari membrane postsinaps atau lempeng akhir motorik serabut otot. Membran postsinaps dibentuk oleh invaginasi selaput otot atau sarkolema yang dinamakan alur atau palung sinaps dimana akson terminal menonjol masuk ke dalamnya. Bagian ini mempunyai banyak lipatan (celah-celah subneural) yang sangat menambah luas permukaan. Membran postsinaps memiliki reseptor-reseptor asetilkolin dan mampu menghasilkan potensial lempeng akhir yang selanjutnya dapat mencetuskan  potensial aksi otot. Pada membran postsinaps juga terdapat suatu enzim yang dapat menghancurkan asetilkolin yaitu asetilkolinesterase. Celah sinaps adalah ruang yang terdapat antara membran presinaps dan postsinaps. Ruang tersebut terisi semacam zat gelatin, dan melalui gelatin ini cairan ekstrasel dapat berdifusi.
Bila impuls saraf mencapai hubungan neuromukular, maka membrane akson terminal presinaps mengalami depolarisasi sehingga asetilkolin akan dilepaskan dalam celah sinaps. Asetilkolin berdifusi melalui celah sinaps dan bergabung dengan reseptor asetilkolin pada membran postsinaps. Penggabungan ini menimbulkan perubahan permeabilitas terhadap natrium maupun kalium pada membran postsinaps. Influks ion natrium dan pengeluaran ion kalium secara tiba-tiba menyababkan depolarisasi lempeng akhir dikenal sebagai potensial lempeng akhir (EPP). Jika EPP ini mencapai ambang akan terbentuk potensial aksi dalam membrane otot yang tidak berhubungan dengan saraf, yang akan disalurkan sepanjang sarkolema. Potensial ini memicu serangkaian reaksi yang mengakibatkan kontraksi serabut otot. Sesudah transmisi melewati hubungan neuromuskular terjadi, asetilkolin akan dihancurkan oleh enzim asetilkolinesterase. Pada orang normal jumlah asetilkolin yang dilepaskan sudah lebih dari cukup untuk menghasilkan potensial aksi. Pada miastenia gravis, konduksi neuromuskular terganggu. Jumlah reseptor asetilkolin berkurang yang mungkin dikarenakan cedera autoimun.
Pada penderita miastenia gravis, secara makroskopis otot-ototnya tampak normal. Jika ada atrofi, maka itu disebabkan karena otot tidak digunakan. Secara mikroskopis beberapa kasus dapat ditemukan infiltrasi limfosit dalam otot dan organ-organ lain, tetapi pada otot rangka tidak dapat ditemukan kelainan yang konsisten. 

2.9 Diagnosis

Diagnosis dapat ditegakkkan berdasarkan riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik. Penting sekali untuk mengetahui keadaan sebenarnya dari miastenia gravis. Diagnosis dapat dibantu dengan meminta pasien melakukan kegiatan berulang sampai timbul tanda-tanda kelelahan. Untuk kepastian diagnosisnya, maka diperlukan tes diagnostik sebagai berikut:
1. Antibodi anti-reseptor asetilkolin
Antibodi ini spesifik untuk miastenia gravis, dengan demikian sangat berguna untuk menegakkan diagnosis. Titer antibodi ini meninggi pada 90% penderita miastenia gravis golongan IIA dan IIB, dan 70% penderita golongan I. Titer antibodi ini umumnya berkolerasi dengan beratnya penyakit.
2. Antibodi anti-otot skelet (anti-striated muscle antibodi)
Antibodi ini ditemukan pada lebih dari 90% penderita dengan timoma dan lebih kurang 30% penderita miastenia gravis. Penderita yang dalam serumnya tidak ada antibodi ini dan juga tidak ada antibodi anti-reseptor asetilkolin, maka kemungkinan adanya timoma adlah sangat kecil.
3. Tes tensilon (edrofonium klorida)
Tensilon adalah suatu penghambat kolinesterase. Tes ini sangat bermanfaat apabila pemeriksaan antibodi anti-reseptor asetilkolin tidak dapat dikerjakan, atau hasil pemeriksaannya negatif sementara secara klinis masih tetap diduga adanya miastenia gravis. Apabila tidak ada efek samping sesudah tes 1-2 mg intravena, maka disuntikkan lagi 5-8 mg tensilon. Reaksi dianggap positif apabila ada perbaikan kekuatan otot yang jelas (misalnya dalam waktu 1 menit), menghilangnya ptosis, lengan dapat dipertahankan dalam posisi abduksi lebih lama, dan meningkatnya kapasitas vital. Reaksi ini tidak akan berlangsung lebih lama dari 5 menit. Jika diperoleh hasil yang positif, maka perlu dibuat diagnosis banding antara miastenia gravis yang sesungguhnya dengan sindrom miastenik. Penderita sindrom miastenik mempunyai gejala-gejala yang serupa dengan miastenia gravis, tetapi penyebabnya ada kaitannya dengan proses patologis lain seperti diabetes, kelainan tiroid, dan keganasan yang telah meluas. Usia timbulnya kedua penyakit ini merupakan faktor pembeda yang penting. Penderita miastenia sejati biasanya muda, sedangkan sindrom miastenik biasanya lebih tua. Gejala-gejala sindrom miastenik biasanya akan hilang kalau patologi yang mendasari berhasil diatasi.Tes ini dapat dikombinasikan dengan pemeriksaan EMG.
4. Foto dada
Foto dada dalam posisi antero-posterior dan lateral perlu dikerjakan, untuk melihat apakah ada timoma. Bila perlu dapat dilakukan pemeriksaan dengan sken tomografik.
5. Tes Wartenberg
Bila gejala-gejala pada kelopak mata tidak jelas, dapat dicoba tes Wartenberg. Penderita diminta menatap tanpa kedip suatu benda yang terletak di atas bidang kedua mata beberapa lamanya. Pada miastenia gravis kelopak mata yang terkena menunjukkan ptosis.
6. Tes prostigmin
Prostigmin 0,5-1,0 mg dicampur dengan 0,1 mg atropin sulfas disuntikkan intramuskular atau subkutan. Tes dianggap positif apabila gejala-gejala menghilang dan tenaga membaik.

2.10 Prognosis

Pada anak, prognosis sangat bervariasi tetapi relatif lebih baik dari pada orang dewasa. Dalam perjalanan penyakit, semua otot serat lintang dapat diserang, terutama otot-otot tubuh bagian atas, 10% Miastenia gravis tetap terbatas pada otot-otot mata, 20% mengalami insufisiensi pernapasan yang dapat fatal, 10%,cepat atau lambat akan mengalami atrofi otot. Progresi penyakit lambat, mencapai puncak sesudah 3-5 tahun, kemudian berangsur-angsur baik dalam 15-20 tahun dan ± 20% antaranya mengalami remisi. Remisi spontan pada awal penyakit terjadi pada 10% Miastenia gravis. (Endang Thamrin dan P. Nara, 1986)

2.11 Komplikasi

Miasthenic merupakan suatu penyakit berbahaya yangterjadi bila otot yang mengendalikan pernapasan menjadi sangat lemah. Kondisi ini dapat menyebabkan gagal pernapasan akut dan pasien seringkalimembutuhkan respirator untuk membantu pernapasan selama krisisberlangsung. Komplikasi lain yang dapat timbul termasuk tersedak, aspirasimakanan, dan pneumonia.
Faktor-faktor yang dapat memicu komplikasi pada pasien termasukriwayat penyakit sebelumnya (misal, infeksi virus pada pernapasan), pasca operasi, pemakaian kortikosteroid yang ditappering secara cepat, aktivitas berlebih (terutama pada cuaca yang panas), kehamilan, dan stressemosional.

2.12 Pencegahan

1. Pencegahan Primer
Pencegahan primer merupakan suatu bentuk pencegahan yang dilakukan pada saat individu belum menderita sakit. Bentuk upaya yang dilakukan yaitu dengan cara promosi kesehatan atau penyuluhan degancara memberikan pengetahuan bagaimana penanggulangan dari penyakit miastenia gravis yang dapat dilakukan dengan;
a. Memberi pengetahuan untuk tidak mengkonsumsi minum minuman beralkohol, khususnya apabila minuman keras tersebut dicampur dengan air soda yang mengandung kuinin. Kuinin merupakan suatu obat yang memudahkan terjadinya kelemahan otot.
b. Menjaga kondisi untuk tidak kelelahan dalam melakukan pekerjaan dan menjaga kondisi untuk tidak stres. Miastenia gravis ini terjadi pada saat penderita dalam kondisi yang lelah dan tegang.
2. Pencegahan Sekunder
Pencegahan ini ditujukan pada individu yang sudah mulai sakit dan menunjukkan adanya tanda dan gejala. Pada tahap ini yang dapat dilakukan adalah dengan cara pengobatan antara lain dengan mempengaruhi proses imunologik pada tubuh individu, yang dilakukan dengan timektomi, kortikosteroid, dan imunosupresif yang biasanya menggunakan azathioprine.
3. Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier (rehabilitasi), pada bentuk pencegahan ini mengusahakan agar penyakit yang diderita tidak menjadi hambatan bagi individu serta tidak terjadi komplikasi pada individu. Yang dapat dilakukan dengan;
a. Mencegah untuk tidak terjadinya penyakit infeksi pada pernafasan. Karena hal ini dapat memperburuk kelemahan otot yang diderita oleh individu.
b. Istirahat yang cukup
c. Pada miastenia gravis dengan ptosis, yaitu dapat diberikan kacamata khusus yang dilengkapi dengan pengait kelopak mata.
d. Mengontrol pasien miastenia gravis untuk tidak minum obat-obat antikolinesterase secara berlebihan.

2.13 Penanganan

Pasien miastenia gravis memerlukan tidur selam 10 jam agar dapat bangun dalam keadaan segar, dan perlu menyelingi kerja dengan istirahat. Selain itu mereka juga harus menghindari faktor-faktor pencetus dan harus minum obat tepat pada waktunya. (SilviaA. Price, Lorain M. Wilson. 1995.)
Walaupun belum ada penelitian tentang pengobatan yang pasti, tetapi miastenia gravis merupakan kelainan neurologik yang dapat diobati. Antikolinesterase (asetilkolinesterase inhibitor) dan terapi imunomudulasi merupakan pelaksanaan utama pada miastenia gravis. Antikolinesterase biasanya digunakan pada miastenia gravis yang ringan. Sedangkan pada pasien dengn miastenia gravis generalisata, perlu dilakukan terapi imunomudulasi yang rutin. Terapi imunosupresif dan imunomodulasi yang dikombinasikan dengan pemberian antibiotik dan penunjang ventilasi, mampu menghambat terjadinya mortalitas dan menurunkan morbiditas pada penderita miastenia gravis. Pengobatan ini dapat digolongkan menjadi terapi yang dapat memulihkan kekuatan otot secara cepat dan terbukti memiliki onset lebih lambat tetapi memiliki efek yang lebih lama sehingga dapat mencegah terjadinya kekambuhan. (Endang Thamrin dan P. Nara, 1986).
Secara garis besar, pengobatan Miastenia gravis berdasarkan 3prinsip, yaitu
1. Mempengaruhi transmisi neuromuskuler:
a. Istirahat
Dengan istirahat, banyaknya ACh dengan rangsangan saraf akan bertambah sehingga serat-serat otot yang kekurangan AChR di bawah ambang rangsang dapat berkontraksi.
b. Memblokir pemecahan ACh
Dengan anti kolinesterase, seperti prostigmin, piridostigmin, edroponium atau ambenonium diberikan sesuai toleransi penderita, biasanya dimulai dosis kecil sampai dicapai dosis optimal. Pada bayi dapat dimulai dengan dosis 10 mg piridostigmin per os dan pada anakbesar 30 mg , kelebihan dosis dapat menyebabkan krisis kolinergik.
2. Mempengaruhi proses imunologik
a. Timektomi
Tujuan neurologi utama dari Thymectomi ini adalah tercapainya perbaikan signifikan dari kelemahan pasien, mengurangi dosis obatyang harus dikonsumsi pasien, serta idealnya adalah kesembuhan yang permanen dari pasien. Timektomi dianjurkan pada MG tanpa timoma yang telah berlangsung 3-5 tahun. Dengan timektomi,setelah 3 tahun ± 25% penderita akan mengalami remisi klinik dan 40-50% mengalami perbaikan.
b. Kortikosteroid
Diberikan prednison dosis tunggal atau alternating untuk mencegah efek samping. Dimulai dengan dosis kecil, dinaikkan perlahan-lahan sampai dicapai dosis yang diinginkan. Kerja kortikosteroid untuk mencegah kerusakan jaringan oleh pengaruh imunologik atau bekerja langsung pada transmisi neromuskuler.
c. Imunosupresif
Yaitu dengan menggunakan Azathioprine, Cyclosporine, Cyclophosphamide (CPM). Namun biasanya digunakan azathioprine (imuran) dengan dosis 2½ mg/kg BB. Azathioprine merupakan obat yang secara relatif dapat ditoleransi dengan baik oleh tubuh dan secara umum memiliki efek samping yang lebih sedikit dibandingkan dengan obat imunosupresif lainnya. Perbaikan lambat sesudah 3-12 bulan. Kombinasi azathioprine dan kortikosteroid lebih efektif yang dianjurkan terutama pada kasus-kasus berat.
d. Plasma exchange
Berguna untuk mengurangi kadar anti-AChR; bila kadar dapat diturunkan sampai 50% akan terjadi perbaikan klinik.
3. Penyesuaian penderita terhadap kelemahan otot
Tujuannya agar penderita dapat menyesuaikan kelemahan otot dengan:
a. Memberikan penjelasan mengenai penyakitnya untuk mencegah problem psikis.
b. Alat bantuan non medika mentosa
Pada miastenia gravis dengan ptosis diberikan kaca mata khususyang dilengkapi dengan pengkait kelopak mata. Bila otot-otot leher yang kena, diberikan penegak leher. Juga dianjurkan untuk menghindari panas matahari, mandi sauna, makanan yang merangsang, menekan emosi dan jangan minum obat-obatan yang mengganggu transmisi neuromuskuler seperti B-blocker, derivate kinine, phenintoin, benzodiazepin, antibiotika seperti aminoglikosida, tetrasiklin dan d-penisilamin.

2.14 Terapi

1. Antikolinesterase
Dapat diberikan piridostigmin 30-120 mg per oral tiap 3 jam atau neostigmin bromida 15-45 mg per oral tiap 3 jam. Piridostigmin biasanya bereaksi secara lambat. Terapi kombinasi tidak menunjukkan hasil yang menyolok. Apabila diperlukan, neostigmin metilsulfat dapat diberikan secara subkutan atau intramuskularis (15 mg per oral setara dengan 1 mg subkutan/intramuskularis), didahului dengan pemberian atropin 0,5-1,0 mg. Neostigmin dapat menginaktifkan atau menghancurkan kolinesterase sehingga asetilkolin tidak segera dihancurkan. Akibatnya aktifitas otot dapat dipulihkan mendekati normal, sedikitnya 80-90% dari kekuatan dan daya tahan semula. Pemberian antikolinesterase akan sangat bermanfaat pada miastenia gravis golongan IIA dan IIB. Efek samping pemberian antikolinesterase disebabkan oleh stimulasi parasimpatis, termasuk konstriksi pupil, kolik, diare, salivasi berkebihan, berkeringat, lakrimasi, dan sekresi bronkial berlebihan. Efek samping gastro intestinal (efek samping muskarinik) berupa kram atau diare dapat diatasi dengan pemberian propantelin bromida atau atropin. Penting sekali bagi pasien-pasien untuk menyadari bahwa gejala-gejala ini merupakan tanda terlalu banyak obat yang diminum, sehingga dosis berikutnya harus dikurangi untuk menghindari krisis kolinergik. Karena neostigmin cenderung paling mudah menimbulkan efek muskarinik, maka obat ini dapat diberikan lebih dulu agar pasien mengerti bagaimana sesungguhnya efek samping tersebut.
2. Steroid
Di antara preparat steroid, prednisolon paling sesuai untuk miastenia gravis, dan diberikan sekali sehari secara selang-seling (alternate days) untuk menghindari efek samping. Dosis awalnya harus kecil (10 mg) dan dinaikkan secara bertahap (5-10 mg/minggu) untuk menghindari eksaserbasi sebagaimana halnya apabila obat dimulai dengan dosis tinggi. Peningkatan dosis sampai gejala-gejala terkontrol atau dosis mencapai 120 mg secara selang-seling. Pada kasus yang berat, prednisolon dapat diberikan dengan dosis awal yang tinggi, setiap hari, dengan memperhatikan efek samping yang mungkin ada. Hal ini untuk dapat segera memperoleh perbaikan klinis. Disarankan agar diberi tambahan preparat kalium. Apabila sudah ada perbaikan klinis maka dosis diturunkan secara perlahan-lahan (5 mg/bulan) dengan tujuan memperoleh dosis minimal yang efektif. Perubahan pemberian prednisolon secara mendadak harus dihindari.
3. Azatioprin
Azatioprin merupakan suatu obat imunosupresif, juga memberikan hasil yang baik, efek sampingnya sedikit jika dibandingkan dengan steroid dan terutama berupa gangguan saluran cerna,peningkatan enzim hati, dan leukopenia. Obat ini diberikan dengan dosis 2,5 mg/kg BB selama 8 minggu pertama. Setiap minggu harus dilakukan pemeriksaan darah lengkap dan fungsi hati. Sesudah itu pemeriksaan laboratorium dikerjakan setiap bulan sekali. Pemberian prednisolon bersama-sama dengan azatioprin sangat dianjurkan.
4. Timektomi
Pada penderita tertentu perlu dilakukan timektomi. Perawatan pasca operasi dan kontrol jalan napas harus benar-benar diperhatikan. Melemahnya penderita beberapa hari pasca operasi dan tidak bermanfaatnya pemberian antikolinesterase sering kali merupakan tanda adanya infeksi paru-paru. Hal ini harus segera diatasi dengan fisioterapi dan antibiotik.
5. Plasmaferesis
Tiap hari dilakukan penggantian plasma sebanyak 3-8 kali dengan dosis 50 ml/kg BB. Cara ini akan memberikan perbaikan yang jelas dalam waktu singkat. Plasmaferesis bila dikombinasikan dengan pemberian obat imusupresan akan sangat bermanfaat bagi kasus yang berat. Namun demikian belum ada bukti yang jelas bahwa terapi demikian ini dapat memberi hasil yang baik sehingga penderita mampu hidup atau tinggal di rumah. Plasmaferesis mungkin efektif padakrisi miastenik karena kemampuannya untuk membuang antibodi pada reseptor asetilkolin, tetapi tidak bermanfaat pada penanganan kasuskronik.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Termakasih atas pesannya.. Mari tulis yang baik :)