KONSEP
PENYAKIT
2.1 Pengertian
Miastenia
gravis adalah suatu kelainan autoimun yang ditandai oleh suatu kelemahan
abnormal dan progresif pada otot rangka yang
dipergunakan secara terus-menerus dan disertai dengan kelelahan saat
beraktivitas. Penyakit ini timbul karena adanya gangguan dari synaptictransmission
atau pada neuromuscular junction. Gangguan tersebut akan
mempengaruhi transmisi neuromuscular pada otot tubuh yang kerjanya di bawah
kesadaran seseorang (volunter). Karakteristik yang muncul berupa kelemahan yang
berlebihan, dan umumnya terjadi kelelahan pada otot-otot volunter dan hal itu
dipengaruhi oleh fungsi saraf cranial (Dewabenny, 2008).
Miastenia
gravis merupakan sindroma klinis akibat kegagalan transmisi neuromuskuler yang
disebabkan oleh hambatan dan destruksi reseptor asetilkolin oleh autoantibodi.
Sehingga dalam hal ini, miastenia gravis
merupakan penyakit autoimun yang spesifik organ. Antibodi reseptor asetilkolin
terdapat didalam serum pada hampir semua pasien. Antibodi ini merupakan
antibodi IgG dan dapat melewati plasenta pada kehamilan (Chandrasoma dan
Taylor, 2005).
Miastenia gravis merupakan gangguan yang mempengaruhi transmisi
neuromuskuler pada otot tubuh yang kerjanya dibawah kesadaran seseorang
(volunteer) . Karakteristik yang muncul berupa kelemahan yang berlebihan dan
umumnya terjadi kelelahan pada otot-otot volunter dan hal itu dipengaruhi oleh
fungsi saraf cranial (Brunner and
Suddarth 2002).
Miastenia gravis adalah suatu kelainan autoimun saaf perifer
berupa terbentuknya antibody terhadap reseptor pascasinaptik asetilkolin (ACH)
nikotinik pada myoneural junction. Penurunan jumlah reseptor ACH ini
menyebabkan penurunan kekuatan otot yang progesif dan terjadi pemulihan setelah
istirahat (Dewanto dkk,2009:62). Berikut gambar miastenia gravis:
Gambar 1. Miastenia Gravis
2.2
Etiologi
Kelainan
primer pada miastenia
gravis dihubungkan dengan gangguan transmisi pada neuromuscular
junction, yaitu penghubung antara unsur saraf dan unsur otot. Pada ujung
akson motor neuron terdapat partikel-partikel globuler yang merupakan
penimbunan asetilkolin (ACh). Jikarangsangan motorik tiba pada ujung akson,
partikel globuler pecah dan AChdibebaskan yang dapat memindahkan gaya saraf
yang kemudian bereaksi dengan ACh. Reseptor (AChR) pada membran postsinaptik.
Reaksi inimembuka saluran ion pada membran serat otot dan menyebabkan
masuknyakation, terutama Na, sehingga dengan demikian terjadilah kontraksi
otot.
Penyebab
pasti gangguan transmisi neromuskuler pada Miastenia gravis tidak diketahui.
Dulu dikatakan, pada Miastenia gravis terdapat kekurangan ACh atau kelebihan
kolinesterase, tetapi menurut teori terakhir, factor imunologiklah yang
berperanan (Qittun, 2008).
2.3
Epidemologi
Miastenia
gravis merupakan penyakit yang jarang ditemui, dan dapat terjadi pada berbagai
usia. Biasanya penyakit ini lebih sering tampak pada usia 20-50 tahun. Wanita
lebih sering menderita penyakit ini dibandingkan pria. Rasio perbandingan
wanita dan pria yang menderita miastenia gravis adalah 3 : 1. Pada wanita,
penyakit ini tampak pada usia yang lebih muda, yaitu sekitar 20 tahun,
sedangkan pada pria, penyakit ini sering terjadi pada usia 40 tahun. Pada bayi,
sekitar 20% bayi yang dilahirkan oleh ibu penderita Miastenia gravis akan
memiliki miastenia tidak menetap/transient (kadang permanen) (Dewabenny, 2008).
2.4
Patogenesis / Patofisiologi
Sebelum
tahun 1973, kelainan transmisi neuromuskuler pada Miastenia gravis dianggap
karena kekurangan ACh. Dengan ditemukan
antibodi terhadap AChR (anti-AChR), baru diketahui, gangguan tersebut adalah
suatu proses imunologik yang menyebabkan jumlah AChR pada membran post-sinaptik berkurang.
Anti-AChR ditemukan pada 80 - 90% penderita. Adanya proses imunologik pada
Miastenia gravis sudah diduga oleh Simpson dan Nastuk pada tahun 1960. Selain
itu, dalam serum penderita miastenia gravis juga dijumpai antibodi terhadap
jaringan otot serat lintang 30 - 40% dan antibodi antinuklear 25%. Kadar
anti-AChR pada miastenia gravis bervariasi antara 2-1000 nMol/L, dan kadar ini
berbeda secara individu. Anti-AChR ini akan mempercepat penghancuran AChR,
tetapi tidak menghambat pembentukan AChR baru. Sebagai akibat proses imunologik,
membran post-sinaptik
mengalami perubahan sehingga jarak antara ujung saraf dan membran post sinaptik
bertambah lebar dengan demikian kolinesterase mendapat kesempatan lebih banyak
untuk menghancurkan Ach . Gejala klinik miastenia gravis akan timbul bila 75%
AChR tidak berfungsi, ataujumlahnya berkurang 1/3 dari normal (Endang Thamrin
dan P. Nara, 1986).
Dasar
Ketidak normalan
pada miastenia gravis adalah adanya kerusakan pada transmisi impuls syaraf
menuju sel otot karena kehilangan kemampuan atau hilangnya reseptor normal
membran postsinaps pada sambungan
neuromuskular. Pada orang normal , jumlah asetilkolin yang dilepaskan sudah
lebih dari cukup untuk menghasilkan potensial aksi.
Gambar
2. Mekanisme Mistenia Gravis
Pada
miastenia gravis , konduksi neuromuskular terganggu, Jumlah asetilkolin berkurang,
mungkin akibat cedera autoimun. Antibodi terhadap protein neuroreseptor asetilkolin ditemukan alam penderita miastenia gravis.
Miastenia gravis secara makroskopis otot-ototnya tampak normal. Jika ada atropi, akibat otot
yang tidak dipakai. Secara mikroskopis pada beberapa kasus dapat ditemukan
infiltrasi limfosit dalam otot dan organ organ lain, tetapi pada otot rangka tidak dapat ditemukan kelainan yang
konsisten (price and wilson,1995 dalam Muttaqin,2000;229).
2.5
Manifestasi Klinis (Tanda Dan Gejala)
Miastenia
gravis adalah penyakit yang terjadi karena kelainan
otot. Maka gejala-gejala yang timbul juga dapat kita lihat dari terjadinya
beberapa otot-otot yang melemah. Otot-otot yang paling sering diserang
adalah otot yang mengontrol gerak mata, kelopak mata, bicara, menelan,
mengunyah, dan yang lebih parah adalah menyerang otot pernafasan.
Pada 90% penderita Miastenia gravis, gejala awal yang tampak adalah pada otot ocular yang
menyebabkan turunnya kelopak mata dan penglihatan ganda. Jelas terlihat secara
fisik. Tentunya gajala selanjutnya akan tampak dan menjalar menyerang otot
lain. Sampai yang lebih parah menyerang otot pernafasan yang biasanya terlihat
dari melemahnya batuk. Bahkan ada yang menjadi sesak nafas dan bisa fatal
akibatnya.
Miastenia
gravis juga menyerang otot-otot, wajah, dan laring. Keadaan ini dapat
menyebabkan regurgitasi melalui hidung jika pasien mencoba menelan
(otot-otot palatum), menimbulkan suara yang abnormal atau suara nasal, dan
pasien tak mampu menutup mulut yang dinamakan sebagai tanda rahang
menggantung. Pada
sistem pernapasan, terserangnya otot-otot pernapasan terlihat dari adanya batuk yang
lemah, dan akhirnya dapat berupa serangan dispnea
dan pasien tidak lagi mampu membersihkan lendir dari trakea dan cabang-cabangnya.
Pada
kasus yang lebih lanjut, gelang bahu dan panggul dapat terserang hingga
terjadi kelemahan pada semua otot-otot rangka. Biasanya gejala miastenia
gravis dapat diredakan dengan beristirahat dan dengan memberikan obat antikolinesterase. Namun gejala-gejala tersebut dapat disebabkan (SilviaA. Price,
Lorain M. Wilson. 1995.);
1.
Perubahan keseimbangan hormonal, misalnya selama kehamilan, fluktuasi selama siklus
haid atau gangguan fungsi tiroid,
2.
Adanya penyakit penyerta terutama infeksi saluran pernapasan bagian atas, dan
infeksi yang disertai diare dan demam,
3.
Gangguan emosi atau stres. Kebanyakan pasien mengalami kelemahan otot apabila
mereka berada dalam keadaan tegang,
4.
Alkohol, terutama bila dicampur dengan air soda yang mengandung kuinin (suatu
obat yang mempermudah terjadinya kelemahan otot) dan obat-obat lainnya.
Pada
pemeriksaan neurologik tidak ditemukan kelainan. Gejala kelemahan otot dapat
diprovokasi oleh aktivitas, stres, nervositas, demam dan obat-obat tertentu
seperti B-blocker, derivat kinine, aminoglikosida dan lain-lain.
Dulu diduga Miastenia gravis tidak timbul sebelum pubertas, akan tetapi dengan
uji prostigmin dapat dibuktikan pada anak umur 18 bulan – 10 tahun. Millichap
dan Dodge membagi Miastenia gravis pada anak dalam 3 tipe (Endang Thamrin dan
P. Nara, 1986) :
1.
Neonatal transient Miastenia gravis
Tipe
ini terdapat pada 10-20% bayi baru lahir dari ibu-ibu yang menderita Miastenia
gravis. Beratnya gejala tidak berkaitan dengan beratnya penyakit pada ibu .
Segera atau beberapa jam setelah lahir, bayi menjadi lemah, nabgis dan gerakan
berkurang, tidak dapat mengisap, sukar menelan, pernapasan melemah. Gejala ini
berlangsung tidak lebih dari 1 Bulan dan bayi berangsur-angsur kembali normal
karena masuknya anti-AChR dari ibu secara transplasenter ke dalam tubuh bayi.
2.
Neonatal persistent Miastenia gravis
(congenital Miastenia gravis)
Gejala
timbul pada waktu lahir, tetapi ibunya tidak sakit Miastenia gravis. Gejala
hampir sama dengan tipe neonataltransient Miastenia gravis, bersifat
ringan, berlangsung lama, makin lama makin buruk . Relatif resisten terhadap
pengobatan dan remisi komplit jarang.
3.
Juvenile Miastenia gravis
Tipe
ini timbul pada umur 2 tahun sampai remaja. Keluhan dan gejala sama seperti
pada orang dewasa dan gejala pertama biasanya diplopia dan ptosis atau gejala THT seperti gangguan mengunyah, menelan atau
suara sengau.
Gejala-gejala miastenia gravis
pada pasein usia produktif antara lain
§ Kelopak
mata turun sebelah atau layu (asimetrik ptosis)
§ Penglihatan
ganda
- Kelemahan otot pada jari-jari, tangan dan kaki (seperti gejala stroke tapi tidak disertai gejala stroke lainnya)
§ Gangguan
menelan
§ Gangguan
bicara
- Dan gejala berat berupa melemahnya otot pernapasan (respiratory paralysis), yang biasanya menyerang bayi yang baru lahir
Gejala-gejala ringan biasanya akan membaik setelah beristirahat,
tetapi bisa muncul kembali bila otot kembali beraktifitas. Penyakit miastenia
gravis ini bisa disembuhkan tergantung kerusakan sistem saraf yang dialami.
a) Bisa
terjadi kesulitan dalam berbicara dan menelan serta kelemahan pada lengan dan
tungkai.
b) Kesulitan
dalam menelan seringkali menyebabkan penderita tersedak.
c) Yang
khas adalah otot menjadi semakin lemah. Penderita mengalami kesulitan dalam
menaiki tangga, mengangkat benda dan bisa terjadi kelumpuhan.
d) Sekitar
10% penderita mengalami kelemahan otot yang diperlukan untuk pernafasan (krisis
miastenik).
2.6 Klasifikasi Miastenia Grafis
Klasifikasi Myasthenia Gravis berdasarkan The
Medical Scientific Advisory Board (MSAB) of the Myasthenia Gravis Foundation of
America (MGFA) :
·
Class I Kelemahan otot okular dan Gangguan
menutup mata, Otot lain masih normal
·
Class II Kelemahan ringan pada otot selain
okular, Otot okular meningkat kelemahannya
·
Class IIa Mempengaruhi ekstrimitas, Sedikit
mempengaruhi otot-otot oropharyngeal
·
Class IIb Mempengaruhi otot-otot oropharyngeal dan pernapasan, Juga
mempengaruhi ekstrimitas
·
Class III Kelemahan sedang pada otot selain
okuler, Meningkatnya kelemahan pada otot okuler
·
Class IIIa Mempengaruhi ektrimitas , Sedikit
mempengaruhi otot-otot oropharyngeal
·
Class IIIb Mempengaruhi
otot-otot oropharyngeal dan
pernapasan, Juga mempengaruhi ekstrimitas
·
Class IV Kelemahan
berat pada selain otot okuler, Kelemahan berat pada otot okuler
·
Class IVa Mempengaruhi ekstrimitas, Sedikit
pengaruh pada otot-otot oropharyngeal
·
Class IVb Terutama mempengaruhi otot-otot
pernapasan dan oropharyngeal, Juga
mempengruhi otot-otot ekstrimitas
·
Class V Pasien
yang membutuhkan intubasi (kecuali pada kasus post-operative)
2.7 Penyebab
Miastenia Gravis
Penyebab pasti reaksi autoimun atau sel antibodi yang
menyerang reseptor acetylcholine belum diketahui. Tapi pada sebagian besar
pasien, kerusakan kelenjar thymus
menjadi penyebabnya. Maka itu kebanyakan si penderita akan menjalani operasi thymus. Tapi setelah thymus diangkat juga belum ada jaminan
penyakit autoimun ini akan sembuh.
Thymus adalah organ khusus
dalam sistem kekebalan yang memproduksi antibodi. Organ ini terus tumbuh pada
saat kelahiran hingga pubertas, dan akan menghilang seiring bertambahnya usia.
Tapi pada orang-orang tertentu, kelenjar thymus
terus tumbuh dan membesar, bahkan bisa menjadi ganas dan menyebabkan tumor pada
kelenjar thymus (thymoma). Pada
kelenjar thymus, sel tertentu pada
sistem kekebalan belajar membedakan antara tubuh dan zat asing. Kelenjar thymus
juga berisi sel otot (myocytes)
dengan reseptor acetylcholine.
2.8 Patofisiologi
Gambaran Penyakit Secara Menyeluruh
Saraf
besar bermielin yang berasal dari sel kornu anterior medula spinalis dan batang
otak mempersarafi otot rangka atau otot lurik. Saraf – saraf ini mengirimkan
aksonnya dalam bentuk saraf-saraf spinal dan cranial menuju ke perifer. Masing-masing saraf bercabang banyak
sekali dan mampu merangsang sekitar 2000 serabut otot rangka. Gabungan antara
saraf motorik dan serabut-serabut otot saraf dinamakan unit motorik. Meskipun setiap
neuron motorik mempersarafi banyak serabut otot, tetapi setiap serabut otot
saraf oleh satu neuron motorik.
Daerah
khusus yang merupakan tempat pertemuan antara saraf motorik dan serabut otot
disebut sinaps neuromuskular atau
hubungan neuromuscular. Hubungan
neuromuskular merupakan suatu sinaps kimia antara saraf dan otot yang terdiri
dari tiga komponen dasar: unsur presinaps,
elemen postsinaps, dan celah sinaps
yang mempunyai lebar sekitar 200Ã…. Unsur presinaps
terdiri dari akson terminal dengan vesikel sinaps yang berisi asetilkolin yang
merupakan neurotransmitter.
Asetilkolin disintesis dan disimpan dalam akson terminal (bouton). Membran
plasma akson terminal disebut membran postsinaps.
Unsur postsinaps terdiri dari membrane postsinaps
atau lempeng akhir motorik serabut otot. Membran postsinaps dibentuk oleh invaginasi selaput otot atau sarkolema
yang dinamakan alur atau palung sinaps dimana akson terminal menonjol masuk ke
dalamnya. Bagian ini mempunyai banyak lipatan (celah-celah subneural) yang sangat
menambah luas permukaan. Membran postsinaps memiliki reseptor-reseptor
asetilkolin dan mampu menghasilkan potensial lempeng akhir yang selanjutnya
dapat mencetuskan potensial aksi otot. Pada membran postsinaps juga
terdapat suatu enzim yang dapat menghancurkan asetilkolin yaitu
asetilkolinesterase. Celah sinaps adalah ruang yang terdapat antara membran
presinaps dan postsinaps. Ruang
tersebut terisi semacam zat gelatin, dan melalui gelatin ini cairan ekstrasel
dapat berdifusi.
Bila
impuls saraf mencapai hubungan neuromukular, maka membrane akson terminal presinaps mengalami depolarisasi
sehingga asetilkolin akan dilepaskan dalam celah sinaps. Asetilkolin berdifusi
melalui celah sinaps dan bergabung dengan reseptor asetilkolin pada membran postsinaps. Penggabungan ini menimbulkan
perubahan permeabilitas terhadap natrium maupun kalium pada membran postsinaps. Influks ion natrium dan
pengeluaran ion kalium secara tiba-tiba menyababkan depolarisasi lempeng akhir
dikenal sebagai potensial lempeng akhir (EPP). Jika EPP ini mencapai ambang
akan terbentuk potensial aksi dalam membrane otot yang tidak berhubungan dengan
saraf, yang akan disalurkan sepanjang sarkolema. Potensial ini memicu
serangkaian reaksi yang mengakibatkan kontraksi serabut otot. Sesudah transmisi
melewati hubungan neuromuskular terjadi, asetilkolin akan dihancurkan oleh
enzim asetilkolinesterase. Pada orang normal jumlah asetilkolin yang dilepaskan
sudah lebih dari cukup untuk menghasilkan potensial aksi. Pada miastenia gravis,
konduksi neuromuskular terganggu. Jumlah reseptor asetilkolin berkurang yang mungkin dikarenakan
cedera autoimun.
Pada
penderita miastenia gravis, secara makroskopis otot-ototnya tampak normal. Jika
ada atrofi, maka itu disebabkan karena otot tidak digunakan. Secara mikroskopis
beberapa kasus dapat ditemukan infiltrasi limfosit dalam otot dan organ-organ
lain, tetapi pada otot rangka tidak dapat ditemukan kelainan yang konsisten.
2.9 Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkkan berdasarkan riwayat
penyakit dan pemeriksaan fisik. Penting sekali untuk mengetahui keadaan
sebenarnya dari miastenia gravis. Diagnosis dapat dibantu dengan meminta pasien
melakukan kegiatan berulang sampai timbul tanda-tanda kelelahan. Untuk
kepastian diagnosisnya, maka diperlukan tes diagnostik sebagai berikut:
1. Antibodi anti-reseptor asetilkolin
Antibodi ini spesifik untuk miastenia gravis, dengan
demikian sangat berguna untuk menegakkan diagnosis. Titer antibodi ini meninggi
pada 90% penderita miastenia gravis golongan IIA dan IIB, dan 70% penderita
golongan I. Titer antibodi ini umumnya berkolerasi dengan beratnya penyakit.
2. Antibodi anti-otot skelet (anti-striated muscle
antibodi)
Antibodi ini ditemukan pada lebih dari 90% penderita
dengan timoma dan lebih kurang 30% penderita miastenia gravis. Penderita yang
dalam serumnya tidak ada antibodi ini dan juga tidak ada antibodi anti-reseptor
asetilkolin, maka kemungkinan adanya timoma adlah sangat kecil.
3. Tes tensilon (edrofonium klorida)
Tensilon adalah suatu penghambat kolinesterase. Tes
ini sangat bermanfaat apabila pemeriksaan antibodi anti-reseptor asetilkolin
tidak dapat dikerjakan, atau hasil pemeriksaannya negatif sementara secara
klinis masih tetap diduga adanya miastenia gravis. Apabila tidak ada efek
samping sesudah tes 1-2 mg intravena, maka disuntikkan lagi 5-8 mg tensilon.
Reaksi dianggap positif apabila ada perbaikan kekuatan otot yang jelas
(misalnya dalam waktu 1 menit), menghilangnya ptosis, lengan dapat dipertahankan
dalam posisi abduksi lebih lama, dan meningkatnya kapasitas vital. Reaksi ini
tidak akan berlangsung lebih lama dari 5 menit. Jika diperoleh hasil yang
positif, maka perlu dibuat diagnosis banding antara miastenia gravis yang
sesungguhnya dengan sindrom miastenik. Penderita sindrom miastenik mempunyai
gejala-gejala yang serupa dengan miastenia gravis, tetapi penyebabnya ada
kaitannya dengan proses patologis lain seperti diabetes, kelainan tiroid, dan
keganasan yang telah meluas. Usia timbulnya kedua penyakit ini merupakan faktor
pembeda yang penting. Penderita miastenia sejati biasanya muda, sedangkan
sindrom miastenik biasanya lebih tua. Gejala-gejala sindrom miastenik biasanya
akan hilang kalau patologi yang mendasari berhasil diatasi.Tes ini dapat
dikombinasikan dengan pemeriksaan EMG.
4. Foto dada
Foto dada dalam posisi antero-posterior dan lateral
perlu dikerjakan, untuk melihat apakah ada timoma. Bila perlu dapat dilakukan
pemeriksaan dengan sken tomografik.
5. Tes Wartenberg
Bila gejala-gejala pada kelopak mata tidak jelas,
dapat dicoba tes Wartenberg. Penderita diminta menatap tanpa kedip suatu benda
yang terletak di atas bidang kedua mata beberapa lamanya. Pada miastenia gravis
kelopak mata yang terkena menunjukkan ptosis.
6. Tes prostigmin
Prostigmin 0,5-1,0 mg dicampur dengan 0,1 mg atropin
sulfas disuntikkan intramuskular atau subkutan. Tes dianggap positif apabila
gejala-gejala menghilang dan tenaga membaik.
2.10 Prognosis
Pada
anak, prognosis sangat bervariasi tetapi relatif lebih baik dari pada orang
dewasa. Dalam perjalanan penyakit, semua otot serat lintang dapat diserang,
terutama otot-otot tubuh bagian atas, 10% Miastenia gravis tetap terbatas pada
otot-otot mata, 20% mengalami insufisiensi pernapasan yang dapat fatal, 10%,cepat
atau lambat akan mengalami atrofi otot. Progresi penyakit lambat, mencapai
puncak sesudah 3-5 tahun, kemudian berangsur-angsur baik dalam 15-20 tahun dan
± 20% antaranya mengalami remisi. Remisi spontan pada awal penyakit terjadi
pada 10% Miastenia gravis. (Endang Thamrin dan P. Nara, 1986)
2.11 Komplikasi
Miasthenic
merupakan suatu penyakit
berbahaya yangterjadi bila otot yang mengendalikan pernapasan menjadi sangat
lemah. Kondisi ini dapat menyebabkan gagal pernapasan akut dan pasien seringkalimembutuhkan
respirator untuk membantu pernapasan selama krisisberlangsung. Komplikasi lain
yang dapat timbul termasuk tersedak, aspirasimakanan, dan pneumonia.
Faktor-faktor
yang dapat memicu komplikasi pada pasien termasukriwayat penyakit sebelumnya
(misal, infeksi virus pada pernapasan), pasca operasi, pemakaian kortikosteroid
yang ditappering secara cepat, aktivitas berlebih (terutama pada cuaca yang
panas), kehamilan, dan stressemosional.
2.12 Pencegahan
1.
Pencegahan Primer
Pencegahan
primer merupakan suatu bentuk pencegahan yang dilakukan pada saat
individu belum menderita sakit. Bentuk upaya yang dilakukan yaitu dengan cara
promosi kesehatan atau penyuluhan degancara memberikan pengetahuan bagaimana
penanggulangan dari penyakit
miastenia gravis yang
dapat dilakukan dengan;
a. Memberi pengetahuan
untuk tidak mengkonsumsi minum minuman beralkohol, khususnya
apabila minuman keras tersebut dicampur
dengan air soda yang mengandung kuinin. Kuinin merupakan suatu obat yang memudahkan
terjadinya kelemahan otot.
b. Menjaga kondisi untuk
tidak kelelahan dalam melakukan pekerjaan dan menjaga kondisi untuk
tidak stres. Miastenia gravis ini terjadi pada saat penderita dalam kondisi yang lelah dan tegang.
2.
Pencegahan Sekunder
Pencegahan
ini ditujukan pada individu yang sudah mulai sakit dan menunjukkan adanya
tanda dan gejala. Pada tahap ini yang dapat dilakukan adalah dengan
cara pengobatan antara lain dengan mempengaruhi proses imunologik pada
tubuh individu, yang dilakukan dengan
timektomi, kortikosteroid, dan
imunosupresif yang biasanya
menggunakan azathioprine.
3.
Pencegahan Tersier
Pencegahan
tersier (rehabilitasi), pada bentuk pencegahan ini mengusahakan agar
penyakit yang diderita tidak menjadi hambatan bagi individu serta
tidak terjadi komplikasi pada individu. Yang dapat dilakukan dengan;
a.
Mencegah untuk tidak terjadinya penyakit infeksi pada pernafasan. Karena hal ini dapat
memperburuk kelemahan otot yang diderita oleh
individu.
b.
Istirahat yang cukup
c.
Pada miastenia gravis dengan ptosis,
yaitu dapat diberikan kacamata
khusus yang dilengkapi dengan pengait kelopak mata.
d.
Mengontrol pasien miastenia gravis untuk tidak minum obat-obat antikolinesterase
secara berlebihan.
2.13 Penanganan
Pasien miastenia gravis
memerlukan tidur
selam 10 jam agar dapat bangun dalam keadaan segar, dan perlu menyelingi kerja
dengan istirahat. Selain itu mereka juga harus menghindari faktor-faktor pencetus
dan harus minum obat tepat pada waktunya. (SilviaA. Price, Lorain M. Wilson.
1995.)
Walaupun
belum ada penelitian tentang pengobatan
yang pasti,
tetapi miastenia gravis merupakan kelainan neurologik yang dapat diobati.
Antikolinesterase (asetilkolinesterase
inhibitor) dan terapi imunomudulasi
merupakan pelaksanaan utama pada miastenia gravis. Antikolinesterase
biasanya digunakan pada miastenia gravis yang ringan. Sedangkan pada pasien
dengn miastenia gravis generalisata, perlu dilakukan terapi imunomudulasi
yang rutin. Terapi
imunosupresif dan imunomodulasi yang dikombinasikan dengan pemberian antibiotik
dan penunjang ventilasi, mampu menghambat terjadinya mortalitas
dan menurunkan morbiditas pada penderita miastenia gravis. Pengobatan ini
dapat digolongkan menjadi terapi yang dapat memulihkan kekuatan
otot secara cepat dan terbukti memiliki onset lebih lambat tetapi memiliki efek
yang lebih lama sehingga dapat mencegah terjadinya kekambuhan.
(Endang Thamrin dan P. Nara, 1986).
Secara
garis besar, pengobatan Miastenia gravis berdasarkan 3prinsip, yaitu
1.
Mempengaruhi transmisi neuromuskuler:
a.
Istirahat
Dengan
istirahat, banyaknya ACh dengan rangsangan saraf akan bertambah sehingga
serat-serat otot yang kekurangan AChR di bawah ambang rangsang dapat
berkontraksi.
b.
Memblokir pemecahan ACh
Dengan
anti kolinesterase, seperti prostigmin, piridostigmin, edroponium
atau ambenonium diberikan sesuai
toleransi penderita, biasanya
dimulai dosis kecil sampai dicapai dosis optimal. Pada bayi dapat dimulai dengan
dosis 10 mg piridostigmin per os dan pada anakbesar 30 mg , kelebihan dosis
dapat menyebabkan krisis kolinergik.
2.
Mempengaruhi proses imunologik
a.
Timektomi
Tujuan
neurologi utama dari Thymectomi ini
adalah tercapainya perbaikan signifikan dari kelemahan pasien, mengurangi dosis
obatyang harus dikonsumsi pasien, serta idealnya adalah kesembuhan yang permanen dari
pasien. Timektomi dianjurkan pada MG tanpa timoma yang telah
berlangsung 3-5 tahun. Dengan timektomi,setelah 3 tahun ± 25% penderita akan
mengalami remisi klinik dan 40-50%
mengalami perbaikan.
b.
Kortikosteroid
Diberikan
prednison dosis tunggal atau
alternating untuk mencegah efek
samping. Dimulai dengan dosis kecil, dinaikkan perlahan-lahan sampai dicapai dosis
yang diinginkan. Kerja kortikosteroid untuk mencegah kerusakan
jaringan oleh pengaruh imunologik atau bekerja langsung pada transmisi
neromuskuler.
c.
Imunosupresif
Yaitu
dengan menggunakan Azathioprine,
Cyclosporine, Cyclophosphamide
(CPM). Namun biasanya digunakan azathioprine (imuran)
dengan dosis 2½ mg/kg BB. Azathioprine
merupakan obat yang
secara relatif dapat ditoleransi dengan baik oleh tubuh dan secara umum memiliki
efek samping yang lebih sedikit dibandingkan
dengan obat imunosupresif lainnya. Perbaikan lambat sesudah 3-12 bulan. Kombinasi azathioprine dan kortikosteroid lebih efektif yang dianjurkan
terutama pada kasus-kasus berat.
d.
Plasma exchange
Berguna
untuk mengurangi kadar anti-AChR; bila kadar dapat diturunkan sampai 50%
akan terjadi perbaikan klinik.
3.
Penyesuaian penderita terhadap kelemahan otot
Tujuannya
agar penderita dapat menyesuaikan kelemahan otot dengan:
a. Memberikan penjelasan
mengenai penyakitnya untuk mencegah problem psikis.
b.
Alat bantuan non medika mentosa
Pada
miastenia gravis dengan ptosis diberikan kaca mata khususyang
dilengkapi dengan pengkait kelopak mata. Bila otot-otot leher yang kena, diberikan
penegak leher. Juga dianjurkan untuk menghindari panas matahari, mandi sauna,
makanan yang merangsang,
menekan emosi dan jangan minum obat-obatan yang mengganggu transmisi neuromuskuler seperti B-blocker, derivate kinine, phenintoin,
benzodiazepin, antibiotika seperti aminoglikosida, tetrasiklin dan
d-penisilamin.
2.14 Terapi
1. Antikolinesterase
Dapat diberikan piridostigmin 30-120 mg per oral tiap
3 jam atau neostigmin bromida 15-45 mg per oral tiap 3 jam. Piridostigmin biasanya
bereaksi secara lambat. Terapi kombinasi tidak menunjukkan hasil yang menyolok.
Apabila diperlukan, neostigmin metilsulfat dapat diberikan secara subkutan atau
intramuskularis (15 mg per oral setara dengan 1 mg subkutan/intramuskularis),
didahului dengan pemberian atropin 0,5-1,0 mg. Neostigmin dapat menginaktifkan
atau menghancurkan kolinesterase sehingga asetilkolin tidak segera dihancurkan.
Akibatnya aktifitas otot dapat dipulihkan mendekati normal, sedikitnya 80-90%
dari kekuatan dan daya tahan semula. Pemberian antikolinesterase akan sangat
bermanfaat pada miastenia gravis golongan IIA dan IIB. Efek samping pemberian antikolinesterase
disebabkan oleh stimulasi parasimpatis, termasuk konstriksi pupil, kolik, diare, salivasi
berkebihan, berkeringat, lakrimasi, dan sekresi bronkial berlebihan. Efek
samping gastro intestinal (efek samping muskarinik) berupa kram atau diare dapat
diatasi dengan pemberian propantelin bromida atau atropin. Penting sekali bagi
pasien-pasien untuk menyadari bahwa gejala-gejala ini merupakan tanda terlalu
banyak obat yang diminum, sehingga dosis berikutnya harus dikurangi untuk
menghindari krisis kolinergik. Karena neostigmin cenderung paling mudah
menimbulkan efek muskarinik, maka obat ini dapat diberikan lebih dulu agar
pasien mengerti bagaimana sesungguhnya efek samping
tersebut.
2. Steroid
Di antara preparat steroid, prednisolon paling sesuai untuk
miastenia gravis, dan diberikan sekali sehari secara selang-seling (alternate
days) untuk menghindari efek samping. Dosis awalnya harus kecil (10 mg) dan
dinaikkan secara bertahap (5-10 mg/minggu) untuk menghindari eksaserbasi
sebagaimana halnya apabila obat dimulai dengan dosis tinggi. Peningkatan dosis
sampai gejala-gejala terkontrol atau dosis mencapai 120 mg secara
selang-seling. Pada kasus yang berat, prednisolon dapat diberikan dengan dosis
awal yang tinggi, setiap hari, dengan memperhatikan efek samping yang mungkin
ada. Hal ini untuk dapat segera memperoleh perbaikan klinis. Disarankan agar
diberi tambahan preparat kalium. Apabila sudah ada perbaikan klinis maka dosis
diturunkan secara perlahan-lahan (5 mg/bulan) dengan tujuan memperoleh dosis minimal
yang efektif. Perubahan pemberian prednisolon secara mendadak harus dihindari.
3. Azatioprin
Azatioprin merupakan suatu obat imunosupresif, juga
memberikan hasil yang baik, efek sampingnya sedikit jika dibandingkan dengan
steroid dan terutama berupa gangguan saluran cerna,peningkatan enzim hati, dan
leukopenia. Obat ini diberikan dengan dosis 2,5 mg/kg BB selama 8 minggu
pertama. Setiap minggu harus dilakukan pemeriksaan darah lengkap dan fungsi
hati. Sesudah itu pemeriksaan laboratorium dikerjakan setiap bulan sekali.
Pemberian prednisolon bersama-sama dengan azatioprin sangat dianjurkan.
4. Timektomi
Pada penderita tertentu perlu dilakukan timektomi.
Perawatan pasca operasi dan kontrol jalan napas harus benar-benar diperhatikan.
Melemahnya penderita beberapa hari pasca operasi dan tidak bermanfaatnya
pemberian antikolinesterase sering kali merupakan tanda adanya infeksi
paru-paru. Hal ini harus segera diatasi dengan fisioterapi dan antibiotik.
5. Plasmaferesis
Tiap hari dilakukan penggantian plasma sebanyak 3-8
kali dengan dosis 50 ml/kg BB. Cara ini akan memberikan perbaikan yang jelas
dalam waktu singkat. Plasmaferesis bila dikombinasikan dengan pemberian obat
imusupresan akan sangat bermanfaat bagi kasus yang berat. Namun demikian belum
ada bukti yang jelas bahwa terapi demikian ini dapat memberi hasil yang baik
sehingga penderita mampu hidup atau tinggal di rumah. Plasmaferesis mungkin
efektif padakrisi miastenik karena kemampuannya untuk membuang antibodi pada
reseptor asetilkolin, tetapi tidak bermanfaat pada penanganan kasuskronik.